Artist

header ads

Belum Laksanakan Shalat, Tiba-tiba Haid. Wajidkah Qadha?

 


Haid yang dialami oleh seorang wanita, memang banyak menimbulkan konsekuensi. Antara lain mengenai gugurnya kewajiban shalat. Dalil dicabutnya kewajiban shalat bagi wanita yang sedang haidh adalah hadits berikut ini :

 

دَمَ الحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاةِ

 

"Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu janganlah shalat." (HR. Abu Daud dan An-Nasai).

 

Ada pula hadits lainnya:

 

إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ

 

‘Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan shalat’ (HR. Bukhari)

 

Ulama Fiqih sepakat bahwa gugurnya kewajiban shalat bagi wanita haid hanya shalat-shalat yang jatuh dalam durasi haidnya, mulai dari keluarnya darah, hingga berakhirnya tetesan darah.

 

Namun apabila waktu shalat sudah datang, kemudian ia tidak sempat melaksanakannya atau menunda-nunda hingga darah haid keburu menetes keluar, Apakah ia wajib meng-qadha shalat yang belum sempat dikerjakannya itu?

 

Misalnya, ketika masuk waktu dzuhur ia tidak segera menunaikannya sampai jam 14.00. Kemudian pada jam itu, tiba-tiba keluar darah haidnya. Padahal ia belum sempat melaksanakan shalat dzuhur, entah karena lalai atau karena hal lainnya. Wajibkah ia mengqadha’ shalat dzuhur itu setelah suci dari haidnya nanti?

 

Dalam hal ini, para ulama Fiqih berbeda pendapat sebagaimana berikut:

 

Madzhab Hanafi

 

Ulama fiqih dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika seorang wanita mengalami haid di pertengahan waktu shalat, maka gugurlah kewajiban shalatnya, walaupun ia belum menunaikan shalat tersebut. Maka, jika jam 14.00 ia belum sempat menunaikan shalat dzhuhur, kemudian di jam itu ia mengalami keluarnya darah haid, maka gugurlah kewajiban shalat dzuhur itu baginya, dan semua waktu shalat berikutnya yang datang selama masa haidnya berlangsung.[1]

 

Madzhab Maliki

 

Madzhab ini berpendapat bahwa jika darah haid keluar di awal waktu shalat fardhu, dan seorang wanita belum sempat melaksanakan shalat, maka keluarnya darah haid itu menggugurkan kewajiban shalatnya itu. Artinya, ia tidak wajib mengqadha’nya setelah suci dari haidnya.

 

Akan tetapi dalam kasus shalat yang boleh dijama’ (Dzhuhur & Ashar, Maghrib & Isya’) madzhab ini membedakan antara darah haid yang keluar di waktu ‘ikhtishash’ dengan darah yang keluar di waktu ‘musytarak’.

 

Waktu ikhtishash untuk Dzuhur adalah masuknya awal waktu (condongnya matahari) hingga waktu dimana seseorang dapat melaksanakan shalat 4 rakaat di awal waktu itu. Sedangkan waktu ikhtishash untuk Ashar adalah waktu dimana seseorang dapat shalat 4 rakaat sebelum terbenamnya matahari (menjelang maghrib). Maka, waktu musytarak itu ada diantara awal waktu dzuhur sampai menjelang habisnya waktu ashar (menjelang maghrib).

 

Apabila darah haid keluar di waktu musytarak, maka gugurlah baginya kewajiban shalat Dzuhur dan Ashar itu. Artinya, jika pada waktu musytarak, misalnya antara jam 12.30 hingga jam 17.30, ia belum sempat melaksanakan shalat dzuhur atau Ashar, lalu tiba-tiba darah keluar, maka gugurlah kewajiban shalat dzuhur dan ashar itu baginya.

 

Adapun pada kasus dimana ia berada dalam perjalanan membolehkan untuk menjama’ shalat, ketentuannya adalah sebagai berikut:

 

Jika ia berniat menjama’ shalat Dzuhur & Ashar (taqdim maupun ta’khir), lalu darah keluar pada waktu ikhtishash untuk Dzuhur, dan ia belum sempat melaksanakan shalat jama’-nya, maka gugurlah kewajiban shalat dzuhurnya. Dan jika haidnya berlangsung hingga habis waktu Ashar, maka gugur pula baginya kewajiban shalat Ashar itu. Artinya, ia tidak wajib mengqadha’ shalat Dzuhur maupun Ashar setelah suci dari haid.

 

Namun jika darah keluar di waktu ikhtishash untuk Ashar (menjelang maghrib), dan ia belum melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar karena awalnya meniatkan untuk menjama’ ta’khir, maka yang gugur hanya kewajiban shalat Ashar saja, sedangkan shalat Dzuhur tetap wajib baginya. Artinya, setelah suci nanti, ia wajib mengqadha’ shalat Dzuhur, dan tidak wajib mengqadha’ shalat Ashar.

 

Dan jika darah haid itu keluar di waktu musytarak, dan ia belum melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar, maka gugurlah baginya kedua shalat tersebut. Artinya, sesucinya dari haid nanti, ia tidak wajib mengqaha’ shalat Dzhuhur maupun Ashar itu.[2]

 

Madzhab Syafi’i & Hambali

 

Ulama dalam madzhab Syafii dan Hambali sepakat bahwa apabila seorang wanita telah masuk waktu shalat, kemudian ia menunda melaksanakan shalatnya hingga keluar darah haid dalam waktu shalat itu, maka wajib baginya mengqadha’ shalat yang belum sempat dilaksanakannya itu.

 

Sebab, setiap mukallaf yang memasuki waktu shalat fardhu dalam keadaan suci, maka saat itu ia terbebani untuk melaksanakan shalat tersebut. Dan ketika ia menunda shalatnya, hingga datang hal yang menghalanginya untuk shalat (haid), maka penghalang itu tidak lantas menjadikannya terlepas dari kewajiban shalat. Maka, kewajiban shalat itu harus ia ganti (qadha’) setelah haidnya selesai.[3]

 

Namun dalam kasus dimana seseorang berada dalam perjalanan yang membolehkan jama’ shalat, ulama dalam madzhab Syafii memiliki pendapat sebagaimana berikut:

 

Apabila haid keluar di waktu shalat yang pertama (Dzuhur atau Maghrib), dan ia belum melaksanakannya, maka wajib baginya untuk mengqadha’ shalat itu saja. Dan tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ shalat yang datang berikutnya (Ashar atau Isya’).

 

Sedangkan apabila darah haid keluar di waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya’), sedangkan ia meniatkan untuk menjama’ ta’khir dan menunda untuk melaksanakannya, maka wajib baginya untuk mengqadha’ kedua waktu shalat itu, yakni Dzuhur-Ashar atau Maghrib-Isya’.[4]

 

Penutup

 

Demikian perbedaan pendapat dari para ulama dari empat madzhab, dimana mayoritas ulama fiqih (Khususnya Syafi'i dan Hambali) menyatakan bahwa jika wanita memasuki waktu shalat dan menunda melaksanakan shalat hingga kemudian keluar darah haidnya, maka ia wajib mengqadha’ shalatnya tersebut. Walaupun setiap madzhab memiliki ketentuan-ketentuan tertentu yang bisa jadi berbeda-beda.

 

Wallahu A’lam Bishshawab.



[1] Ibnul Humam, Syarah Fathul Qadir, jilid 1 hal. 152

[2] Ibnu Juzai al-Kalbi, Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah hal. 60

[3] Al-Buhuty, Kasyaf al-Qinna’ juz 1 hal. 259

[4] al-Khatib as-Syirbini, Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 132

Posting Komentar

0 Komentar