Kitab Adabul Islam fi Nidhomil Usroh
Judul : Kitab Adabul Islam fi Nidhomil Usroh Penulis : Muhammad bin Alawi al-Maliki Penerbit : Halaman : 178 halaman Ha…
Judul | : Kitab Adabul Islam fi Nidhomil Usroh |
Penulis | |
Penerbit | : |
Halaman | : 178 halaman |
Harga | : Rp. 0,- |
Kategori | : pdf |
Ukuran | : |
Download | : SafefileKu | Google Drive | AceFile | |
Salam sahabat Binaar, dalam mencari ilmu jangan ada kata
menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari
ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan
sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Binaar, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Binaar akan
menjelaskan tentang Qadha’il Hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab
Al Fiqhul Muyassar karya beberapa ulama di Saudi Arabia, yang kami ringkas
sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل
الْقِبْلَةَ وَلَا يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam WC
untuk buang hajat, maka janganlah menghadap ke arah kiblat dan jangan
membelakanginya. Hendaklah ia menghadap ke arah timurnya atau baratnya." (HR.
Muslum)((Kitab Fathul Bari : 141))
Tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya ketika
buang air di tanah terbuka tanpa adanya penghalang. Hal ini berdasarkan hadits
Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ
تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ
غَرِّبُوا»
“Apabila kalian mendatangi jamban, maka janganlah
menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke tumir
atau barat.”
Abu Ayyub berkata, “Lalu kami datang ke Syam, ternyata
jamban-jambannya dibangun menghadap ka’bah, maka kami berpindah arah darinya
dan memohon ampunan kepada Allah ﷻ.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun jika dalam bangunan, atau antara dia dengan kiblat
ada sesuatu yang menutupinya, maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dirinya pernah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil di rumahnya dengan menghadap ke
Syam dan membelakangi ka’bah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula berdasarkan hadits Marwan Al Ashghar, ia
berkata, “Ibnu Umar pernah menundukkan untanya dengan menghadap kiblat, lalu ia
duduk dan buang air kecil menghadap ke sana.” Lalu aku berkata, “Wahai Abu
Abdirrahman, bukankah hal ini dilarang?” Ia menjawab, “Ya. Tetapi hal ini
dilarang jika di tanah terbuka. Adapun jika antara dirimu dengan kiblat
terdapat sesuatu yang menutupimu, maka tidak mengapa.” ((HR. Abu Dawud,
Daruquthni, dan Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Daruquthni, Hakim, Adz
Dzahabi, dan dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hazimiy, dan Al Albani - lihat Al
Irwa’ no. 61)).
Tetapi, yang lebih utama adalah tidak menghadap kiblat dan
membelakanginya meskipun berada dalam bangunan.
Nah, semoga jadi manfaat bagi
semua pembaca edumipedia. Semoga sahabat edumipedia menemukan apa yang dicari
di risalah ini. Bila ada pertanyaan, silakan tanya di kolom komentar. Insya
Allah akan dijawab langsung atau melalui risalah yang akan datang.
Wallahu`alam
Salam sahabat Binaa Ilmu, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Binaa Ilmu, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan
menjelaskan tentang Qadha’il Hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab
Al Fiqhul Muyassar karya beberapa ulama di Saudi Arabia, yang kami ringkas
sebagai berikut:
Istinja’ artinya membersihkan sesuatu
yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) dengan menggunakan air.
Istijmar artinya mengusap sesuatu yang
keluar dari dua jalan itu dengan sesuatu yang suci, mubah, lagi membersihkan
seperti batu dan semisalnya.
Istinja’ dapat mewakili istijmar, sebagaimana
istijmar dapat mewakili istinja. Hal ini berdasarkan kedua hadits berikut:
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا، وَغُلَامٌ نَحْوِي، إِدَاوَةً
مِنْ مَاءٍ، وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ»
“Rasulullah ﷺ pernah masuk
jamban, lalu aku bersama anak yang semisalku membawa bejana berisi air dan juga
membawa tongkat, maka Beliau beristinja’ dengan air.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ
لِحَاجَتِهِ، فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu pergi untuk buang
hajat, maka hendaknya ia beristijmar dengan tiga buah batu, karena hal itu
cukup baginya.” (HR. Ahmad dan Daruquthni, ia berkata, “Isnadnya shahih.”)
Dan menggabung antara air dan batu adalah lebih utama.
Istijmar bisa menggunakan batu atau yang menempati posisinya
berupa apa saja yang suci, membersihkan, dan mubah, seperti tisu, kayu, dsb.
Yang demikian adalah, karena Nabi ﷺ beristijmar dengan batu, sehingga termasuk
pula sesuatu yang semisalnya yang sama dapat membersihkan.
Dan tidak sah beristijmar kurang dari tiga usapan. Hal ini
berdasarkan hadits Salman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau ﷺ melarang kami
beristinja dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga
buah, dan beristinja dengan kotoran dan tulang (HR. Muslim).
Nah, semoga jadi manfaat bagi semua pembaca Binaa Ilmu. Semoga sahabat edumipedia menemukan apa yang dicari di risalah ini. Bila ada pertanyaan, silakan tanya di kolom komentar. Insya Allah akan dijawab langsung atau melalui risalah yang akan datang.
Wallahu`alam
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata
menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari
ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan
sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan
menjelaskan tentang Jenis-jenis Najis, simak penjelasan kami berikut:
Allah ﷻ berfirman :
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Terj. Al Baqarah:
222)
Dengan tobat, batin seseorang menjadi bersih dan dengan
bersuci, bagian luar manusia menjadi bersih. Bersuci di sini, mencakup bersuci
dari khabats (kotoran) dan bersuci dari hadats. Bersuci dari kotoran yaitu
dengan menghilangkan najis yang menimpa pakaian, badan, maupun tempat shalat,
sedangkan bersuci dari hadats, yaitu dengan wudhu', mandi, dan tayammum.
Dalam risalah ini insya Allah akan dibahas tentang najis dan
cara membersihkannya, semoga Allah ﷻ menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui proses
penyembelihan. Dalil tentang najisnya bangkai adalah sabda Rasulullah ﷺ :
اِذَا دُبِغَ اْلِإهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
"Apabila kulit (bangkai) disamak, maka ia menjadi
suci." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى
بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
Ketika perang Tabuk, Rasulullah ﷺ mendatangi sebuah
rumah, lalu beliau menemukan sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau
kemudian minta diambilkan air dengan wadah tersebut, maka para sahabat pun
berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai."
beliau bersabda: "Penyamakannya telah menjadikan ia suci."
Termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan binatang
hidup yang dipotong sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain.
Namun tidak termasuk ke dalam najis apa yang disebutkan di
bawah ini:
a.
Bangkai ikan dan belalang, keduanya adalah suci.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ : أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
"Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah.
Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah
adalah hati dan limpa." ((HR. Ahmad dan Baihaqi, Shahihul Jami' 210))
b.
Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya,
seperti lalat, semut dan lebah. Oleh karena itu, jika binatang-binatang ini
jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah membuatnya najis.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ اَلذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ, ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ, فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً, وَفِي اَلْآخَرِ شِفَاءً
"Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang
di antara kamu maka tenggelamkanlah, kemudian tariklah karena pada salah satu
sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada obatnya.” (HR.
Bukhari)
c.
Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya,
giginya, bulunya, dsb.
Hal itu, karena hukum asalnya
adalah suci.
Dalil tentang najisnya darah haidh adalah hadits Asma' binti
Abi Bakar radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Ada seorang wanita yang datang
kepada Nabi ﷺ
dan berkata, "Pakaian salah seorang di antara kami terkena darah haidh,
apa yang harus dilakukannya?" Beliau ﷺ menjawab:
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرِصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ
"Ia mengeriknya lalu
menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya dan (boleh) mengenakan shalat
dengannya." ((Muttafaq 'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim))
Allah ﷻ
berfirman:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ
خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah, "Tidaklah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor." (Terj. QS. Al An'aam:
145)
Najisnya babi sama seperti najisnya yang lain, sehingga
menyucikannya cukup mencucinya sekali.
Najisnya kencing dan kotoran manusia adalah perkara yang
sudah maklum. Hanya saja diberikan keringanan pada kencing bayi laki-laki
yang belum memakan makanan. Oleh karena itu, cara membersihkannya cukup dengan
dipercikkan. Rasulullah ﷺ
bersabda:
بَوْلُ اْلغُلاَمِ يُنْضَحُ عَلَيْهِ ، وَبَوْلُ اْلجَارِيَةِ يُغْسَلُ
“Kencing bayi laki-laki dipercikkan, sedangkan kencing
bayi perempuan dicuci.”
Qatadah berkata, “Hal ini jika keduanya masih belum memakan
makanan. Jika sudah, maka kencing keduanya harus dicuci.” ((HR. Ahmad –ini
adalah lafaznya-, juga diriwayatkan oleh pemilik kitab Sunan selain Nasa’i, Al
Haafizh dalam Al Fat-h berkata: “Isnadnya shahih”))
Madzy adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih
dan lengket, biasanya keluar ketika syahwat tinggi, namun tidak disudahi dengan
lemas setelah keluarnya, berbeda dengan mani. Sedangkan wady adalah air yang
keluar dari kemaluan berwarna putih dan tebal, biasanya keluar setelah kencing.
Madzy dan wady adalah najis.
Dalil tentang najisnya madzy adalah hadits
Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ »
.
"Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar
madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena
puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau,
sabdanya, "Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu'." ((Muttafaq
'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim))
Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika
mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil
cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy adalah hadits Sahl bin
Hunaif, ia berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana jika madzi mengenai kainku?”
Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu
percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” ((Hasan,
HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi))
Sedangkan dalil tentang najisnya wady adalah
kata-kata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang wady dan madzy:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ فِي الصَّلاَةِ
"Basuhlah dzakarmu atau kemaluanmu dan berwudhu'lah
seperti wudhu'mu untuk shalat." (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Tentang mani
Adapun mani, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ia
adalah najis, namun yang rajih bahwa mani itu suci, akan tetapi dianjurkan
mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata, "Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah ﷺ ketika sudah kering
dan mencucinya jika masih masah." ((HR. Daruquthni, Abu 'Uwanah dan Al
Bazzar))
Contoh hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah kucing dan
tikus. Dalil tentang najisnya kencing dan kotoran hewan yang tidak
dimakan dagingnya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata:
Nabi ﷺ
pernah datang ke tempat buang hajat, lalu menyuruhku untuk membawakan tiga buah
batu. Aku mendapatkan dua buah batu dan mencari yang ketiganya, namun tidak
menemukan, aku pun mengambil kotoran hewan dan membawanya, maka Beliau
mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran hewan, Beliau ﷺ bersabda,
"Ini adalah najis." ((HR. Bukhari, dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Ia adalah najis, ia adalah kotoran keledai."))
Namun dimaafkan jika hanya sedikit karena agak sulit
menghindarkan diri darinya. Al Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Al
Auza'iy, "Lalu bagaimana dengan kencing binatang yang tidak dimakan
dagingnya seperti bighal, keledai dan kuda?" Ia menjawab: "Dahulu
orang-orang terkena hal itu dalam perang mereka, namun mereka tidak mencuci
badan atau pakaian mereka."
Adapun kencing dan kotoran binatang yang dimakan dagingnya,
maka menurut Imam Malik, Ahmad dan jama'ah para ulama madzhab Syafi'i bahwa hal
itu adalah suci. Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak ada salah seorang sahabat
yang mengatakan najisnya."
Telah ada larangan menunggangi binatang jallalah, memakan
dagingnya dan meminum susunya. Ini semua menunjukkan najisnya. Ibnu Abbas
berkata:
"Rasulullah ﷺ melarang meminum susu binatang Jallalah." ((HR. Lima orang
selain Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Tirmidzi))
Amr bin Syu'aib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya
sbb:
"Rasulullah ﷺ melarang memakan daging keledai negeri dan melarang jallalah,
yaitu melarang untuk ditunggangi dan dimakan dagingnya." ((HR. Ahmad,
Nasa'i dan Abu Dawud))
Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik
unta, sapi, kambing, ayam, itik dsb. sehingga tercium bau. Jika binatang
tersebut dijauhkan dari kotoran beberapa lama dan diberi makanan yang suci
sehingga dagingnya menjadi enak dan tidak disebut lagi sebagai jallalah
(pemakan kotoran), maka binatang tersebut menjadi halal, karena sebab
dilarangnya sudah hilang.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana (wadah) salah seorang di antara kamu apabila
dijilati anjing adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan yang pertama
(dicampur) dengan tanah."[2]
((HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi))
Jika anjing menjilat suatu wadah yang di dalamnya terdapat
makanan yang beku (jamid), maka dibuang bagian yang dikenainya serta bagian
sekitarnya, selebihnya bisa dimanfaatkan karena masih suci. Adapun jika di
dalam wadah tersebut berisi air, maka air tersebut harus dibuang.
Diqiaskan dengan mulutnya adalah seluruh badannya (yakni
seluruh badannya juga najis), pendapat yang mengatakan najisnya ‘ain (badan)
anjing adalah pendapat jumhur ulama.
[1] Menurut
penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh
KSA), bahwa termasuk najis adalah darah yang mengalir dari hewan yang dapat
dimakan, dalilnya (أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا)
artinya “atau darah yang mengalir” (QS. Al An’aam: 145), adapun darah yang
masih menempel di daging dan urat, maka itu suci, wallahu a’lam.
[2] Menurut penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh KSA), bahwa hukum ini berlaku baik pada wadah maupun lainnya seperti pakaian dan permadani, namun di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa perintah membasuh sebanyak tujuh kali ini hanyalah apabila anjing menjilat wadah yang berisi air. Selain itu, maka cara penyuciannya adalah dengan menghilangkan najis itu tidak harus tujuh kali. Karena cara penyucian yang tidak disebutkan tatacaranya oleh syariat, maka intinya menghilangkan najis itu; baik warna maupun baunya, wallahu a’lam.
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan menjelaskan tentang pentingnya Niat, simak penjelasan kami berikut:
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” ((Kitab Shahih Bukhari, Hadits pertama))
1. Mengikhlaskan amalan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) Ta’ala yang paling baik.
2. Syarat diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada maka amalan tersebut tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua sayap.
3. Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian juga mengharapkan ketentraman batin dan dada yang lapang.
4. Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”
5. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
6. Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun ada juga tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala keikhlasan. Misalnya:
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Mungkin timbul pertanyaan, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Jika ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak mendapat apa-apa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ
Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. ((HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani))
7. Jika seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia. Misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ [11:15]أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [11:16]
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah Huud: 15-16)
8. Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh berkata, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’ juga.”
Wallahu a’lam.
Berkaitan dengan kuburan apalagi kuburan yang dianggap
keramat, ternyata respon orang cukup beragam. Ada yang sangat suka dengan
kuburan keramat, kemana-mana yang dicari kuburan keramat. Tak jarang pula ada
yang sampai meminta dikabulkan hajatnya oleh orang yang di kuburan.
Adapula orang yang tak suka dengan kuburan keramat. Sampai
untuk datang ziarah ke kuburannya saja sudah dianggap syirik, dianggapnya yang
datang ke kuburan keramat itu pasti menyembahnya. Bahkan tak jarang, sampai tak
berani ziarah ke makam orang tuanya sendiri, khawatir dianggap syirik dan dosa.
Kuburiyyun; Sebuah istilah baru yang biasanya disematkan
oleh orang yang anti ziarah kubur kepada orang yang suka ziarah kubur.
Cukup susah jika harus mendefinisakan arti kuburiyyun baik
secara bahasa atau istilah. Karena penulis belum menemukan definisi yang jelas
dari para pembuat istilah itu, “Apa itu Kuburiyyun dan siapa saja mereka”.
Tetapi jika dibaca dan disimpulkan dari tulisan-tulisan
pembuat istilah, penulis dapat simpulkan bahwa Kuburiyyun adalah orang yang
suka pergi ke Kubur. Entah ke kubur untuk menyembahnya, mencari wangsit untuk
nomer togel, meminta pesugihan. Bahkan para pembuat istilah, orang yang datang
ke kubur para wali dan orang shaleh juga dikategorikan sebagai kuburiyyun
sehingga hukumnya sama. Entah, pembuat istilah memasukkan tukang gali kubur
dalam pengertian kuburiyyun atau tidak WaAllahu a’lam.
Tentu ini menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas.
Kenapa? Karena disini ada generalisasi istilah Kuburiyyun, penyama rataan hukum
kuburiyyun antara yang datang ke kubur untuk menyembahnya dan yang datang ke
kubur para wali untuk mendo’akannya.
Tentu pembahasan yang sungguh menarik, karena menyangkut
status keimanan seorang muslim yang telah bersyahadat tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad Rasul Allah. Karena menurut pengamatan penulis, ada beberapa pihak
yang menyamakan ziarah ke makam wali itu seperti ziarahnya Umat Yahudi,
Nahsrani, dan Konghuchu.
Sebelum kita membahas tentang hukum kuburiyyun, ziarah ke
makam wali, mengadakan perjalanan untuk ziarah, perjalanan ziarah ke makam oleh
para Ulama zaman dahulu, ada baiknya kita bahas istilah “Kuburiyyun” secara
bahasa.
Kuburiyyun atau “Kuburiyyun” ada bentuk nisbat[1]
atau penyandaran dari kata “Qubur”. Dalam ilmu sharaf/morfologi, Qubur
[qaf-ba’-wawu-ra’] adalah bentuk jama’/prular dari “Qabrun”[2].
Qabrun jama’nya Qubur, sedangkan Maqbarah jama’nya maqabir. Jama’ ini namanya
Jama’ Taktsir.
Secara ilmu nahwu/sintaksis, ketika terjadi penisbatan/
pemberian ya’ nisbat suatu kata ketika dalam bentuk jama’, maka harus
dikembalikan kepada bentuk mufrad/ singularnya. Terlebih jika jama’nya adalah
mudzakkar salim atau mu’annats salim.
Dalam bait Alfiyyah Ibnu Malik disebutkan:
وعلم التثنية احذف للنسب*** ومثل ذا في جمع تصحيح وجب
Adapun tanda isim tastniyyah dan jamak mudzakar salim, maka
buanglah alamat tasniyyah dan jamaknya jika dinasabkan.
Sebagai contoh: Jama’ ”muslimuna” ketika dinasabkan menjadi
“muslimiyy”.
Sebagaimana Jama’ Taksir juga. Dalam kasus istilah
“Kuburiyyun” jika mengikuti kaedah kebahasaan yang benar seharusnya
dikembalikan ke mufradnya dahulu.
Dalam bait Alfiyyah disebutkan dalam bab Nisbat:
والواحد اذكر ناسبا للجمع *** إن لم يشابه واحدا بالوضع[3]
Maka sebutkanlah mufradnya jika ingin menasabkan jamak...
Maka seharusnya penisbatan kata “Qubur” bukan Kuburiyyun
tapi “Qabriyyun”. Karena mufrad dari Qubur adalah Qabrun.
Meski Majma’ Lughah Al Arabiyyah Mesir pada tahun 1937
menyatakan boleh nisbat kepada jama’ taksir ketika dibutuhkan. Sebagai contoh:
Anshar [jama taksir dari Nashir] boleh dikatakan Anshariyyu. Tapi hal ini tidak
dikenal para Ulama Ahli Nahwu masa lalu.
Tentu masalah ini adalah masalah yang cukup sensitive.
Disatu sisi, ada umat islam yang giat melaksanakan ziarah ke makam para ulama.
Disisi lain ada umat islam yang menuduhnya sebagai pangkal dari kerusakan
dunia, pendangkalan iman bahkan termasuk perbuatan syirik.
Alasan pertama mengapa ziarah para Ulama itu tidak
disyariatkan karena adanya “Syaddu Ar-rihal” atau bepergian disitu.
Dalilnya: Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إلى
ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
“Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu
Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[4]
Tidak boleh bepergian kecuali ke tiga masjid. Hadits ini
selalu dijadikan dalil pelarangan bepergian, terkhusus ke kubur para ulama.
Tapi bagaimana memahami hadits tidak boleh mengadakan
perjalanan jauh kecuali kepada 3 masjid diatas?
Jika dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian
dan mengadakan perjalanan jauh, pastinya bepergian ke daerah lain untuk
kunjungan, studi banding, belajar, bekerja atau hanya sekedar wisata juga
dilarang.
Nyatanya hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh
kalangan yang melarang ziarah makam ulama sekalipun.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya[5]
berkata:
قوله : إلا إلى ثلاثة مساجد المستثنى منه
محذوف،فإما أن يقدر عاماً فيصير:لا تشد الرحال إلى مكان في أي أمر كان إلا لثلاثة
أو أخص من ذلك ،لا سبيل إلى الأول لإفضائه إلى سد باب السفر للتجارة وصلة الرحم
وطلب العلم وغيرها، فتعين الثاني، والأولى أن يقدر ما هو أكثر مناسبة وهو : لا تشد
الرحال إلى مسجد للصلاة فيه إلا إلى الثلاثة ، فيبطل بذلك قول من منع شد الرحال
إلى زيارة القبر الشريف وغيره من قبور الصالحين ، والله أعلم
Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga
masjid] maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan
itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga tempat
itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk bisnis,
silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya. Lebih utama mustatsna minhunya
dikira-kirakan kepada yang lebih sesuai. Maka tak boleh mengadakan perjalanan
jauh untuk shalat di suatu masjid tertentu kecuali ke 3 masjid. Dengan ini
batallah pernyataan orang yang melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah
kuburnya Nabi dan kubur orang shalih lainnya.
Para ulama memaknai hadits ini, bahwa tidak ada masjid yang
mulia untuk diadakan perjalanan jauh untuk shalat di dalamnya kecuali kepada
tiga masjid tadi. Karena mustatsna ada dari jenisnya mustasna minhu.
Tetapi jika bepergian jauh ke suatu masjid selain 3 masjid
bukan karena meyakini keutamaan tempatnya, tetapi karena orang yang berada di
masjid itu maka hukumnya boleh. Sebagaimana pergi mengadakan perjalanan jauh ke
suatu masjid karena di masjid itu ada kajian seorang ustadz syeikh atau guru
atau karena alasan silaturrahim maka hukumnya boleh[6].
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ «اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis
pula lah orang-orang di sekitar beliau.
Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk
memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku
pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan.
Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” [HR.
Muslim no.108, 2/671].
Hadits diatas sebagai dalil jika mengadakan perjalan ziarah
ke kubur bukan hal yang dilarang, termasuk mengadakan ziarah ke makam orang
tua. Nabi Muhammad memerintahkan berziarah ke kubur, karena hal itu bisa
mengingatkan kepada kematian.
Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad Shallaallahu alaihi wa
sallam berada di sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan
nama kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu
artikel alarabiya.net.
Jarak 180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek
lagi. Dalam kitab fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar
diantaranya adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan
perjalanan cukup jauh untuk mengunjungi makam Ibunya.
Nabi Muhammad Shallaallahu alihi wa sallam bersabda:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا
فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur.
Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan
akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul
hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]
Para Ulama ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai adanya
amar setelah nahyi, adanya perintah setelah sebelumnya dilarang, sebagaimana
hadits diatas[7].
Pendapat pertama; amar setelah nahyi bermakna wajib. Ini
adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, Ibnu Hazm. Maksudnya
jika ada suatu perintah, sebelumnya dilarang, maka perintah itu artinya sebuah
kewajiban.
Pendapat kedua; berfaedah mubah. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama dari Imam Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.
Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal
sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.
Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap. Ini adalah pendapat Al-Juwaini dan Al-Amidi.
Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur,
baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.
Ketika seorang ibu menyuruh anaknya beli beras di warung,
berarti jalan ke warung itu sarana untuk melaksanakan perintah itu membeli
beras. Tak mungkin jika ibu memerintahkan beli beras ke warung, tapi ibu
melarang anaknya untuk keluar rumah.
أن للوسائل أحكام المقاصد[8]
Wasilah/ perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti
tujuan sesuatu tersebut.
Sebagaimana ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang
mengatakan mubah. Maka mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah.
Bagaimana bisa hukum ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk
sampai ke tempat yang diziarahi hukumnya haram.
Ada yang menggunakan dalil saddu Ad-dzari'ah atau mencegah
kerusakan yang lebih parah untuk melarang ziarah ke makam, dengan alasan
dikhawatirkan akan musyrik jika berziarah.
Nabi Muhammad dahulu pernah melarang ziarah kubur, lalu Nabi
memerintahkan ziarah kubur. Lantas ada yang bukan Nabi, tapi melarang ziarah
kubur karena khawatir terjatuh kepada kesyirikan. Kok bisa? Apakah dia lebih
nabi dari Nabi?
Padahal Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam
bersabda:
إِنِّي لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُم أَنْ
تُشْرِكُوا وَلَكِنيِّ أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوهَا
“Sesungguhnya aku tidak takut (khawatir) kalian akan menjadi
musyrik (menyekutukan Allah sepeninggalku nanti), akan tetapi aku takut
(khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Tentu hadits diatas bukan berarti menganggap remeh
kesyirikan, tapi menganggap ziarah kubur ke orang shalih itu sebagai kesyirikan
yang menanggalkan keimanan itu sungguh pemikiran yang tak inshaf dan terlalu
terburu-buru.
Dalam hadits lain dengan sanad yang shahih, bahaya akhir
zaman tak hanya syirik itu sendiri, tetapi menuduh saudaranya syirik itulah
yang dikhawatirkan Nabi. Nabi ﷺ bersabda:
عن حُذَيْفَةَ حَدَّثَهُ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ
عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ،
وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، فَانْسَلَخَ
مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ،
وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى
بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي» (صحيح ابن
حبان، / 282)
“Sesungguhnya yang
paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca
(menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap
Al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari Al-Qur’ân,
membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang
dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah
yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab,
“Penuduhnya”. [HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan
al-Bazzâr).
Biar tambah puas, hadits diatas juga dishahihkan oleh Albani
dalam Kitabnya Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, juz 7, hal. 605.
Tak jarang, sampai terlalu sukanya dengan kuburan keramat,
semua ditelan mentah-mentah dan kehilangan nalar kritisnya. Kuburan keramat
palsu pun didatangi. Bisa jadi kuburan keramat itu cuma bikinan si kuncen saja,
biar pundi-pundi kotak amal masuk ke kantong. Istilahnya dibuat seolah-olah
sakral, dainggap sebagai petilasan wali. Maka tak heran, satu wali dianggap
memiliki banyak makam di beberapa tempat.
Bukan berarti tak ada kemunkaran dalam beberapa kasus ziarah
ke kuburan orang shalih, tapi melarang ziarah ke kuburan karena kekhatiran
berlebih dan tak selalu terbukti adalah sesuatu yang tak dibenarkan dalam
syariah. Waallahua'lam.
[1] Nisbat
dalam ilmu Nahwu dipahami sebagai penambahan huruf “ya’” nisbat diakhir kalimat
sebagai tanda kebangsaan, karena menisbatkan/ menyandarkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain. Sebagai contoh Mishriyyun: orang yang berbangsa Mesir,
Jawiyyun: Orang Jawa.
[2] Jamaluddin
Abdullah Al Anshari, Audhahul Masalik, bab Abniyatul katsrah. Ibnu Aqil Syarah
Alfiyyah Ibnu Malik, Ibnu Aqil: 4/128
[3] Alfiyyah
Ibnu Malik Bab Nasab, lihat: An Nahwu Al Wafi, Abbas Hasan: 4/741, Syarah
Asymuni ala Alfiyyah Ibni Malik, Asymuni: 2/14, Syarah Ibnu Aqil, Ibnu Aqil:
4/167
[4] HR.
Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu
Hurairah
[5] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: 3/66
[6] Al
Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361.
[7] Lihat:
Al-Bahru al-Muhith: 2/111, Al-Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398, Ahkam Ibn
hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87
[8] Lihat:
Syarah Tanqihul Fushul: 449, I’lamul Muwaqqi’in: 3/135
Judul | : Kitab Adabul Islam fi Nidhomil Usroh |
Penulis | |
Penerbit | : |
Halaman | : 178 halaman |
Harga | : Rp. 0,- |
Kategori | : pdf |
Ukuran | : |
Download | : SafefileKu | Google Drive | AceFile | |
Salam sahabat Binaar, dalam mencari ilmu jangan ada kata
menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari
ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan
sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Binaar, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Binaar akan
menjelaskan tentang Qadha’il Hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab
Al Fiqhul Muyassar karya beberapa ulama di Saudi Arabia, yang kami ringkas
sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل
الْقِبْلَةَ وَلَا يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam WC
untuk buang hajat, maka janganlah menghadap ke arah kiblat dan jangan
membelakanginya. Hendaklah ia menghadap ke arah timurnya atau baratnya." (HR.
Muslum)((Kitab Fathul Bari : 141))
Tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya ketika
buang air di tanah terbuka tanpa adanya penghalang. Hal ini berdasarkan hadits
Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ
تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ
غَرِّبُوا»
“Apabila kalian mendatangi jamban, maka janganlah
menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke tumir
atau barat.”
Abu Ayyub berkata, “Lalu kami datang ke Syam, ternyata
jamban-jambannya dibangun menghadap ka’bah, maka kami berpindah arah darinya
dan memohon ampunan kepada Allah ﷻ.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun jika dalam bangunan, atau antara dia dengan kiblat
ada sesuatu yang menutupinya, maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dirinya pernah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil di rumahnya dengan menghadap ke
Syam dan membelakangi ka’bah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula berdasarkan hadits Marwan Al Ashghar, ia
berkata, “Ibnu Umar pernah menundukkan untanya dengan menghadap kiblat, lalu ia
duduk dan buang air kecil menghadap ke sana.” Lalu aku berkata, “Wahai Abu
Abdirrahman, bukankah hal ini dilarang?” Ia menjawab, “Ya. Tetapi hal ini
dilarang jika di tanah terbuka. Adapun jika antara dirimu dengan kiblat
terdapat sesuatu yang menutupimu, maka tidak mengapa.” ((HR. Abu Dawud,
Daruquthni, dan Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Daruquthni, Hakim, Adz
Dzahabi, dan dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hazimiy, dan Al Albani - lihat Al
Irwa’ no. 61)).
Tetapi, yang lebih utama adalah tidak menghadap kiblat dan
membelakanginya meskipun berada dalam bangunan.
Nah, semoga jadi manfaat bagi
semua pembaca edumipedia. Semoga sahabat edumipedia menemukan apa yang dicari
di risalah ini. Bila ada pertanyaan, silakan tanya di kolom komentar. Insya
Allah akan dijawab langsung atau melalui risalah yang akan datang.
Wallahu`alam
Salam sahabat Binaa Ilmu, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Binaa Ilmu, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan
menjelaskan tentang Qadha’il Hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab
Al Fiqhul Muyassar karya beberapa ulama di Saudi Arabia, yang kami ringkas
sebagai berikut:
Istinja’ artinya membersihkan sesuatu
yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) dengan menggunakan air.
Istijmar artinya mengusap sesuatu yang
keluar dari dua jalan itu dengan sesuatu yang suci, mubah, lagi membersihkan
seperti batu dan semisalnya.
Istinja’ dapat mewakili istijmar, sebagaimana
istijmar dapat mewakili istinja. Hal ini berdasarkan kedua hadits berikut:
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا، وَغُلَامٌ نَحْوِي، إِدَاوَةً
مِنْ مَاءٍ، وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ»
“Rasulullah ﷺ pernah masuk
jamban, lalu aku bersama anak yang semisalku membawa bejana berisi air dan juga
membawa tongkat, maka Beliau beristinja’ dengan air.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ
لِحَاجَتِهِ، فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu pergi untuk buang
hajat, maka hendaknya ia beristijmar dengan tiga buah batu, karena hal itu
cukup baginya.” (HR. Ahmad dan Daruquthni, ia berkata, “Isnadnya shahih.”)
Dan menggabung antara air dan batu adalah lebih utama.
Istijmar bisa menggunakan batu atau yang menempati posisinya
berupa apa saja yang suci, membersihkan, dan mubah, seperti tisu, kayu, dsb.
Yang demikian adalah, karena Nabi ﷺ beristijmar dengan batu, sehingga termasuk
pula sesuatu yang semisalnya yang sama dapat membersihkan.
Dan tidak sah beristijmar kurang dari tiga usapan. Hal ini
berdasarkan hadits Salman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau ﷺ melarang kami
beristinja dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga
buah, dan beristinja dengan kotoran dan tulang (HR. Muslim).
Nah, semoga jadi manfaat bagi semua pembaca Binaa Ilmu. Semoga sahabat edumipedia menemukan apa yang dicari di risalah ini. Bila ada pertanyaan, silakan tanya di kolom komentar. Insya Allah akan dijawab langsung atau melalui risalah yang akan datang.
Wallahu`alam
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata
menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari
ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan
sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan
menjelaskan tentang Jenis-jenis Najis, simak penjelasan kami berikut:
Allah ﷻ berfirman :
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Terj. Al Baqarah:
222)
Dengan tobat, batin seseorang menjadi bersih dan dengan
bersuci, bagian luar manusia menjadi bersih. Bersuci di sini, mencakup bersuci
dari khabats (kotoran) dan bersuci dari hadats. Bersuci dari kotoran yaitu
dengan menghilangkan najis yang menimpa pakaian, badan, maupun tempat shalat,
sedangkan bersuci dari hadats, yaitu dengan wudhu', mandi, dan tayammum.
Dalam risalah ini insya Allah akan dibahas tentang najis dan
cara membersihkannya, semoga Allah ﷻ menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui proses
penyembelihan. Dalil tentang najisnya bangkai adalah sabda Rasulullah ﷺ :
اِذَا دُبِغَ اْلِإهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
"Apabila kulit (bangkai) disamak, maka ia menjadi
suci." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى
بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
Ketika perang Tabuk, Rasulullah ﷺ mendatangi sebuah
rumah, lalu beliau menemukan sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau
kemudian minta diambilkan air dengan wadah tersebut, maka para sahabat pun
berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai."
beliau bersabda: "Penyamakannya telah menjadikan ia suci."
Termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan binatang
hidup yang dipotong sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain.
Namun tidak termasuk ke dalam najis apa yang disebutkan di
bawah ini:
a.
Bangkai ikan dan belalang, keduanya adalah suci.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ : أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
"Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah.
Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah
adalah hati dan limpa." ((HR. Ahmad dan Baihaqi, Shahihul Jami' 210))
b.
Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya,
seperti lalat, semut dan lebah. Oleh karena itu, jika binatang-binatang ini
jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah membuatnya najis.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ اَلذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ, ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ, فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً, وَفِي اَلْآخَرِ شِفَاءً
"Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang
di antara kamu maka tenggelamkanlah, kemudian tariklah karena pada salah satu
sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada obatnya.” (HR.
Bukhari)
c.
Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya,
giginya, bulunya, dsb.
Hal itu, karena hukum asalnya
adalah suci.
Dalil tentang najisnya darah haidh adalah hadits Asma' binti
Abi Bakar radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Ada seorang wanita yang datang
kepada Nabi ﷺ
dan berkata, "Pakaian salah seorang di antara kami terkena darah haidh,
apa yang harus dilakukannya?" Beliau ﷺ menjawab:
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرِصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ
"Ia mengeriknya lalu
menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya dan (boleh) mengenakan shalat
dengannya." ((Muttafaq 'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim))
Allah ﷻ
berfirman:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ
خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah, "Tidaklah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor." (Terj. QS. Al An'aam:
145)
Najisnya babi sama seperti najisnya yang lain, sehingga
menyucikannya cukup mencucinya sekali.
Najisnya kencing dan kotoran manusia adalah perkara yang
sudah maklum. Hanya saja diberikan keringanan pada kencing bayi laki-laki
yang belum memakan makanan. Oleh karena itu, cara membersihkannya cukup dengan
dipercikkan. Rasulullah ﷺ
bersabda:
بَوْلُ اْلغُلاَمِ يُنْضَحُ عَلَيْهِ ، وَبَوْلُ اْلجَارِيَةِ يُغْسَلُ
“Kencing bayi laki-laki dipercikkan, sedangkan kencing
bayi perempuan dicuci.”
Qatadah berkata, “Hal ini jika keduanya masih belum memakan
makanan. Jika sudah, maka kencing keduanya harus dicuci.” ((HR. Ahmad –ini
adalah lafaznya-, juga diriwayatkan oleh pemilik kitab Sunan selain Nasa’i, Al
Haafizh dalam Al Fat-h berkata: “Isnadnya shahih”))
Madzy adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih
dan lengket, biasanya keluar ketika syahwat tinggi, namun tidak disudahi dengan
lemas setelah keluarnya, berbeda dengan mani. Sedangkan wady adalah air yang
keluar dari kemaluan berwarna putih dan tebal, biasanya keluar setelah kencing.
Madzy dan wady adalah najis.
Dalil tentang najisnya madzy adalah hadits
Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ »
.
"Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar
madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena
puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau,
sabdanya, "Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu'." ((Muttafaq
'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim))
Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika
mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil
cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy adalah hadits Sahl bin
Hunaif, ia berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana jika madzi mengenai kainku?”
Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu
percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” ((Hasan,
HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi))
Sedangkan dalil tentang najisnya wady adalah
kata-kata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang wady dan madzy:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ فِي الصَّلاَةِ
"Basuhlah dzakarmu atau kemaluanmu dan berwudhu'lah
seperti wudhu'mu untuk shalat." (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Tentang mani
Adapun mani, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ia
adalah najis, namun yang rajih bahwa mani itu suci, akan tetapi dianjurkan
mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata, "Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah ﷺ ketika sudah kering
dan mencucinya jika masih masah." ((HR. Daruquthni, Abu 'Uwanah dan Al
Bazzar))
Contoh hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah kucing dan
tikus. Dalil tentang najisnya kencing dan kotoran hewan yang tidak
dimakan dagingnya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata:
Nabi ﷺ
pernah datang ke tempat buang hajat, lalu menyuruhku untuk membawakan tiga buah
batu. Aku mendapatkan dua buah batu dan mencari yang ketiganya, namun tidak
menemukan, aku pun mengambil kotoran hewan dan membawanya, maka Beliau
mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran hewan, Beliau ﷺ bersabda,
"Ini adalah najis." ((HR. Bukhari, dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Ia adalah najis, ia adalah kotoran keledai."))
Namun dimaafkan jika hanya sedikit karena agak sulit
menghindarkan diri darinya. Al Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Al
Auza'iy, "Lalu bagaimana dengan kencing binatang yang tidak dimakan
dagingnya seperti bighal, keledai dan kuda?" Ia menjawab: "Dahulu
orang-orang terkena hal itu dalam perang mereka, namun mereka tidak mencuci
badan atau pakaian mereka."
Adapun kencing dan kotoran binatang yang dimakan dagingnya,
maka menurut Imam Malik, Ahmad dan jama'ah para ulama madzhab Syafi'i bahwa hal
itu adalah suci. Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak ada salah seorang sahabat
yang mengatakan najisnya."
Telah ada larangan menunggangi binatang jallalah, memakan
dagingnya dan meminum susunya. Ini semua menunjukkan najisnya. Ibnu Abbas
berkata:
"Rasulullah ﷺ melarang meminum susu binatang Jallalah." ((HR. Lima orang
selain Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Tirmidzi))
Amr bin Syu'aib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya
sbb:
"Rasulullah ﷺ melarang memakan daging keledai negeri dan melarang jallalah,
yaitu melarang untuk ditunggangi dan dimakan dagingnya." ((HR. Ahmad,
Nasa'i dan Abu Dawud))
Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik
unta, sapi, kambing, ayam, itik dsb. sehingga tercium bau. Jika binatang
tersebut dijauhkan dari kotoran beberapa lama dan diberi makanan yang suci
sehingga dagingnya menjadi enak dan tidak disebut lagi sebagai jallalah
(pemakan kotoran), maka binatang tersebut menjadi halal, karena sebab
dilarangnya sudah hilang.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana (wadah) salah seorang di antara kamu apabila
dijilati anjing adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan yang pertama
(dicampur) dengan tanah."[2]
((HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi))
Jika anjing menjilat suatu wadah yang di dalamnya terdapat
makanan yang beku (jamid), maka dibuang bagian yang dikenainya serta bagian
sekitarnya, selebihnya bisa dimanfaatkan karena masih suci. Adapun jika di
dalam wadah tersebut berisi air, maka air tersebut harus dibuang.
Diqiaskan dengan mulutnya adalah seluruh badannya (yakni
seluruh badannya juga najis), pendapat yang mengatakan najisnya ‘ain (badan)
anjing adalah pendapat jumhur ulama.
[1] Menurut
penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh
KSA), bahwa termasuk najis adalah darah yang mengalir dari hewan yang dapat
dimakan, dalilnya (أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا)
artinya “atau darah yang mengalir” (QS. Al An’aam: 145), adapun darah yang
masih menempel di daging dan urat, maka itu suci, wallahu a’lam.
[2] Menurut penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh KSA), bahwa hukum ini berlaku baik pada wadah maupun lainnya seperti pakaian dan permadani, namun di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa perintah membasuh sebanyak tujuh kali ini hanyalah apabila anjing menjilat wadah yang berisi air. Selain itu, maka cara penyuciannya adalah dengan menghilangkan najis itu tidak harus tujuh kali. Karena cara penyucian yang tidak disebutkan tatacaranya oleh syariat, maka intinya menghilangkan najis itu; baik warna maupun baunya, wallahu a’lam.
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan menjelaskan tentang pentingnya Niat, simak penjelasan kami berikut:
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” ((Kitab Shahih Bukhari, Hadits pertama))
1. Mengikhlaskan amalan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) Ta’ala yang paling baik.
2. Syarat diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada maka amalan tersebut tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua sayap.
3. Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian juga mengharapkan ketentraman batin dan dada yang lapang.
4. Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”
5. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
6. Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun ada juga tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala keikhlasan. Misalnya:
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Mungkin timbul pertanyaan, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Jika ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak mendapat apa-apa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ
Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. ((HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani))
7. Jika seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia. Misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ [11:15]أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [11:16]
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah Huud: 15-16)
8. Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh berkata, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’ juga.”
Wallahu a’lam.
Berkaitan dengan kuburan apalagi kuburan yang dianggap
keramat, ternyata respon orang cukup beragam. Ada yang sangat suka dengan
kuburan keramat, kemana-mana yang dicari kuburan keramat. Tak jarang pula ada
yang sampai meminta dikabulkan hajatnya oleh orang yang di kuburan.
Adapula orang yang tak suka dengan kuburan keramat. Sampai
untuk datang ziarah ke kuburannya saja sudah dianggap syirik, dianggapnya yang
datang ke kuburan keramat itu pasti menyembahnya. Bahkan tak jarang, sampai tak
berani ziarah ke makam orang tuanya sendiri, khawatir dianggap syirik dan dosa.
Kuburiyyun; Sebuah istilah baru yang biasanya disematkan
oleh orang yang anti ziarah kubur kepada orang yang suka ziarah kubur.
Cukup susah jika harus mendefinisakan arti kuburiyyun baik
secara bahasa atau istilah. Karena penulis belum menemukan definisi yang jelas
dari para pembuat istilah itu, “Apa itu Kuburiyyun dan siapa saja mereka”.
Tetapi jika dibaca dan disimpulkan dari tulisan-tulisan
pembuat istilah, penulis dapat simpulkan bahwa Kuburiyyun adalah orang yang
suka pergi ke Kubur. Entah ke kubur untuk menyembahnya, mencari wangsit untuk
nomer togel, meminta pesugihan. Bahkan para pembuat istilah, orang yang datang
ke kubur para wali dan orang shaleh juga dikategorikan sebagai kuburiyyun
sehingga hukumnya sama. Entah, pembuat istilah memasukkan tukang gali kubur
dalam pengertian kuburiyyun atau tidak WaAllahu a’lam.
Tentu ini menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas.
Kenapa? Karena disini ada generalisasi istilah Kuburiyyun, penyama rataan hukum
kuburiyyun antara yang datang ke kubur untuk menyembahnya dan yang datang ke
kubur para wali untuk mendo’akannya.
Tentu pembahasan yang sungguh menarik, karena menyangkut
status keimanan seorang muslim yang telah bersyahadat tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad Rasul Allah. Karena menurut pengamatan penulis, ada beberapa pihak
yang menyamakan ziarah ke makam wali itu seperti ziarahnya Umat Yahudi,
Nahsrani, dan Konghuchu.
Sebelum kita membahas tentang hukum kuburiyyun, ziarah ke
makam wali, mengadakan perjalanan untuk ziarah, perjalanan ziarah ke makam oleh
para Ulama zaman dahulu, ada baiknya kita bahas istilah “Kuburiyyun” secara
bahasa.
Kuburiyyun atau “Kuburiyyun” ada bentuk nisbat[1]
atau penyandaran dari kata “Qubur”. Dalam ilmu sharaf/morfologi, Qubur
[qaf-ba’-wawu-ra’] adalah bentuk jama’/prular dari “Qabrun”[2].
Qabrun jama’nya Qubur, sedangkan Maqbarah jama’nya maqabir. Jama’ ini namanya
Jama’ Taktsir.
Secara ilmu nahwu/sintaksis, ketika terjadi penisbatan/
pemberian ya’ nisbat suatu kata ketika dalam bentuk jama’, maka harus
dikembalikan kepada bentuk mufrad/ singularnya. Terlebih jika jama’nya adalah
mudzakkar salim atau mu’annats salim.
Dalam bait Alfiyyah Ibnu Malik disebutkan:
وعلم التثنية احذف للنسب*** ومثل ذا في جمع تصحيح وجب
Adapun tanda isim tastniyyah dan jamak mudzakar salim, maka
buanglah alamat tasniyyah dan jamaknya jika dinasabkan.
Sebagai contoh: Jama’ ”muslimuna” ketika dinasabkan menjadi
“muslimiyy”.
Sebagaimana Jama’ Taksir juga. Dalam kasus istilah
“Kuburiyyun” jika mengikuti kaedah kebahasaan yang benar seharusnya
dikembalikan ke mufradnya dahulu.
Dalam bait Alfiyyah disebutkan dalam bab Nisbat:
والواحد اذكر ناسبا للجمع *** إن لم يشابه واحدا بالوضع[3]
Maka sebutkanlah mufradnya jika ingin menasabkan jamak...
Maka seharusnya penisbatan kata “Qubur” bukan Kuburiyyun
tapi “Qabriyyun”. Karena mufrad dari Qubur adalah Qabrun.
Meski Majma’ Lughah Al Arabiyyah Mesir pada tahun 1937
menyatakan boleh nisbat kepada jama’ taksir ketika dibutuhkan. Sebagai contoh:
Anshar [jama taksir dari Nashir] boleh dikatakan Anshariyyu. Tapi hal ini tidak
dikenal para Ulama Ahli Nahwu masa lalu.
Tentu masalah ini adalah masalah yang cukup sensitive.
Disatu sisi, ada umat islam yang giat melaksanakan ziarah ke makam para ulama.
Disisi lain ada umat islam yang menuduhnya sebagai pangkal dari kerusakan
dunia, pendangkalan iman bahkan termasuk perbuatan syirik.
Alasan pertama mengapa ziarah para Ulama itu tidak
disyariatkan karena adanya “Syaddu Ar-rihal” atau bepergian disitu.
Dalilnya: Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إلى
ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
“Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu
Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[4]
Tidak boleh bepergian kecuali ke tiga masjid. Hadits ini
selalu dijadikan dalil pelarangan bepergian, terkhusus ke kubur para ulama.
Tapi bagaimana memahami hadits tidak boleh mengadakan
perjalanan jauh kecuali kepada 3 masjid diatas?
Jika dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian
dan mengadakan perjalanan jauh, pastinya bepergian ke daerah lain untuk
kunjungan, studi banding, belajar, bekerja atau hanya sekedar wisata juga
dilarang.
Nyatanya hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh
kalangan yang melarang ziarah makam ulama sekalipun.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya[5]
berkata:
قوله : إلا إلى ثلاثة مساجد المستثنى منه
محذوف،فإما أن يقدر عاماً فيصير:لا تشد الرحال إلى مكان في أي أمر كان إلا لثلاثة
أو أخص من ذلك ،لا سبيل إلى الأول لإفضائه إلى سد باب السفر للتجارة وصلة الرحم
وطلب العلم وغيرها، فتعين الثاني، والأولى أن يقدر ما هو أكثر مناسبة وهو : لا تشد
الرحال إلى مسجد للصلاة فيه إلا إلى الثلاثة ، فيبطل بذلك قول من منع شد الرحال
إلى زيارة القبر الشريف وغيره من قبور الصالحين ، والله أعلم
Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga
masjid] maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan
itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga tempat
itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk bisnis,
silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya. Lebih utama mustatsna minhunya
dikira-kirakan kepada yang lebih sesuai. Maka tak boleh mengadakan perjalanan
jauh untuk shalat di suatu masjid tertentu kecuali ke 3 masjid. Dengan ini
batallah pernyataan orang yang melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah
kuburnya Nabi dan kubur orang shalih lainnya.
Para ulama memaknai hadits ini, bahwa tidak ada masjid yang
mulia untuk diadakan perjalanan jauh untuk shalat di dalamnya kecuali kepada
tiga masjid tadi. Karena mustatsna ada dari jenisnya mustasna minhu.
Tetapi jika bepergian jauh ke suatu masjid selain 3 masjid
bukan karena meyakini keutamaan tempatnya, tetapi karena orang yang berada di
masjid itu maka hukumnya boleh. Sebagaimana pergi mengadakan perjalanan jauh ke
suatu masjid karena di masjid itu ada kajian seorang ustadz syeikh atau guru
atau karena alasan silaturrahim maka hukumnya boleh[6].
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ «اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis
pula lah orang-orang di sekitar beliau.
Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk
memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku
pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan.
Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” [HR.
Muslim no.108, 2/671].
Hadits diatas sebagai dalil jika mengadakan perjalan ziarah
ke kubur bukan hal yang dilarang, termasuk mengadakan ziarah ke makam orang
tua. Nabi Muhammad memerintahkan berziarah ke kubur, karena hal itu bisa
mengingatkan kepada kematian.
Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad Shallaallahu alaihi wa
sallam berada di sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan
nama kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu
artikel alarabiya.net.
Jarak 180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek
lagi. Dalam kitab fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar
diantaranya adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan
perjalanan cukup jauh untuk mengunjungi makam Ibunya.
Nabi Muhammad Shallaallahu alihi wa sallam bersabda:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا
فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur.
Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan
akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul
hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]
Para Ulama ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai adanya
amar setelah nahyi, adanya perintah setelah sebelumnya dilarang, sebagaimana
hadits diatas[7].
Pendapat pertama; amar setelah nahyi bermakna wajib. Ini
adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, Ibnu Hazm. Maksudnya
jika ada suatu perintah, sebelumnya dilarang, maka perintah itu artinya sebuah
kewajiban.
Pendapat kedua; berfaedah mubah. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama dari Imam Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.
Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal
sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.
Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap. Ini adalah pendapat Al-Juwaini dan Al-Amidi.
Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur,
baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.
Ketika seorang ibu menyuruh anaknya beli beras di warung,
berarti jalan ke warung itu sarana untuk melaksanakan perintah itu membeli
beras. Tak mungkin jika ibu memerintahkan beli beras ke warung, tapi ibu
melarang anaknya untuk keluar rumah.
أن للوسائل أحكام المقاصد[8]
Wasilah/ perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti
tujuan sesuatu tersebut.
Sebagaimana ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang
mengatakan mubah. Maka mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah.
Bagaimana bisa hukum ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk
sampai ke tempat yang diziarahi hukumnya haram.
Ada yang menggunakan dalil saddu Ad-dzari'ah atau mencegah
kerusakan yang lebih parah untuk melarang ziarah ke makam, dengan alasan
dikhawatirkan akan musyrik jika berziarah.
Nabi Muhammad dahulu pernah melarang ziarah kubur, lalu Nabi
memerintahkan ziarah kubur. Lantas ada yang bukan Nabi, tapi melarang ziarah
kubur karena khawatir terjatuh kepada kesyirikan. Kok bisa? Apakah dia lebih
nabi dari Nabi?
Padahal Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam
bersabda:
إِنِّي لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُم أَنْ
تُشْرِكُوا وَلَكِنيِّ أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوهَا
“Sesungguhnya aku tidak takut (khawatir) kalian akan menjadi
musyrik (menyekutukan Allah sepeninggalku nanti), akan tetapi aku takut
(khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Tentu hadits diatas bukan berarti menganggap remeh
kesyirikan, tapi menganggap ziarah kubur ke orang shalih itu sebagai kesyirikan
yang menanggalkan keimanan itu sungguh pemikiran yang tak inshaf dan terlalu
terburu-buru.
Dalam hadits lain dengan sanad yang shahih, bahaya akhir
zaman tak hanya syirik itu sendiri, tetapi menuduh saudaranya syirik itulah
yang dikhawatirkan Nabi. Nabi ﷺ bersabda:
عن حُذَيْفَةَ حَدَّثَهُ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ
عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ،
وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، فَانْسَلَخَ
مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ،
وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى
بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي» (صحيح ابن
حبان، / 282)
“Sesungguhnya yang
paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca
(menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap
Al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari Al-Qur’ân,
membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang
dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah
yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab,
“Penuduhnya”. [HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan
al-Bazzâr).
Biar tambah puas, hadits diatas juga dishahihkan oleh Albani
dalam Kitabnya Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, juz 7, hal. 605.
Tak jarang, sampai terlalu sukanya dengan kuburan keramat,
semua ditelan mentah-mentah dan kehilangan nalar kritisnya. Kuburan keramat
palsu pun didatangi. Bisa jadi kuburan keramat itu cuma bikinan si kuncen saja,
biar pundi-pundi kotak amal masuk ke kantong. Istilahnya dibuat seolah-olah
sakral, dainggap sebagai petilasan wali. Maka tak heran, satu wali dianggap
memiliki banyak makam di beberapa tempat.
Bukan berarti tak ada kemunkaran dalam beberapa kasus ziarah
ke kuburan orang shalih, tapi melarang ziarah ke kuburan karena kekhatiran
berlebih dan tak selalu terbukti adalah sesuatu yang tak dibenarkan dalam
syariah. Waallahua'lam.
[1] Nisbat
dalam ilmu Nahwu dipahami sebagai penambahan huruf “ya’” nisbat diakhir kalimat
sebagai tanda kebangsaan, karena menisbatkan/ menyandarkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain. Sebagai contoh Mishriyyun: orang yang berbangsa Mesir,
Jawiyyun: Orang Jawa.
[2] Jamaluddin
Abdullah Al Anshari, Audhahul Masalik, bab Abniyatul katsrah. Ibnu Aqil Syarah
Alfiyyah Ibnu Malik, Ibnu Aqil: 4/128
[3] Alfiyyah
Ibnu Malik Bab Nasab, lihat: An Nahwu Al Wafi, Abbas Hasan: 4/741, Syarah
Asymuni ala Alfiyyah Ibni Malik, Asymuni: 2/14, Syarah Ibnu Aqil, Ibnu Aqil:
4/167
[4] HR.
Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu
Hurairah
[5] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: 3/66
[6] Al
Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361.
[7] Lihat:
Al-Bahru al-Muhith: 2/111, Al-Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398, Ahkam Ibn
hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87
[8] Lihat:
Syarah Tanqihul Fushul: 449, I’lamul Muwaqqi’in: 3/135
Judul | : Kitab Adabul Islam fi Nidhomil Usroh |
Penulis | |
Penerbit | : |
Halaman | : 178 halaman |
Harga | : Rp. 0,- |
Kategori | : pdf |
Ukuran | : |
Download | : SafefileKu | Google Drive | AceFile | |
Salam sahabat Binaar, dalam mencari ilmu jangan ada kata
menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari
ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan
sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Binaar, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Binaar akan
menjelaskan tentang Qadha’il Hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab
Al Fiqhul Muyassar karya beberapa ulama di Saudi Arabia, yang kami ringkas
sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل
الْقِبْلَةَ وَلَا يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian masuk ke dalam WC
untuk buang hajat, maka janganlah menghadap ke arah kiblat dan jangan
membelakanginya. Hendaklah ia menghadap ke arah timurnya atau baratnya." (HR.
Muslum)((Kitab Fathul Bari : 141))
Tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya ketika
buang air di tanah terbuka tanpa adanya penghalang. Hal ini berdasarkan hadits
Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ
تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ
غَرِّبُوا»
“Apabila kalian mendatangi jamban, maka janganlah
menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke tumir
atau barat.”
Abu Ayyub berkata, “Lalu kami datang ke Syam, ternyata
jamban-jambannya dibangun menghadap ka’bah, maka kami berpindah arah darinya
dan memohon ampunan kepada Allah ﷻ.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun jika dalam bangunan, atau antara dia dengan kiblat
ada sesuatu yang menutupinya, maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dirinya pernah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil di rumahnya dengan menghadap ke
Syam dan membelakangi ka’bah. (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula berdasarkan hadits Marwan Al Ashghar, ia
berkata, “Ibnu Umar pernah menundukkan untanya dengan menghadap kiblat, lalu ia
duduk dan buang air kecil menghadap ke sana.” Lalu aku berkata, “Wahai Abu
Abdirrahman, bukankah hal ini dilarang?” Ia menjawab, “Ya. Tetapi hal ini
dilarang jika di tanah terbuka. Adapun jika antara dirimu dengan kiblat
terdapat sesuatu yang menutupimu, maka tidak mengapa.” ((HR. Abu Dawud,
Daruquthni, dan Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Daruquthni, Hakim, Adz
Dzahabi, dan dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Hazimiy, dan Al Albani - lihat Al
Irwa’ no. 61)).
Tetapi, yang lebih utama adalah tidak menghadap kiblat dan
membelakanginya meskipun berada dalam bangunan.
Nah, semoga jadi manfaat bagi
semua pembaca edumipedia. Semoga sahabat edumipedia menemukan apa yang dicari
di risalah ini. Bila ada pertanyaan, silakan tanya di kolom komentar. Insya
Allah akan dijawab langsung atau melalui risalah yang akan datang.
Wallahu`alam
Salam sahabat Binaa Ilmu, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Binaa Ilmu, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan
menjelaskan tentang Qadha’il Hajah yang banyak kami rujuk kepada kitab
Al Fiqhul Muyassar karya beberapa ulama di Saudi Arabia, yang kami ringkas
sebagai berikut:
Istinja’ artinya membersihkan sesuatu
yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) dengan menggunakan air.
Istijmar artinya mengusap sesuatu yang
keluar dari dua jalan itu dengan sesuatu yang suci, mubah, lagi membersihkan
seperti batu dan semisalnya.
Istinja’ dapat mewakili istijmar, sebagaimana
istijmar dapat mewakili istinja. Hal ini berdasarkan kedua hadits berikut:
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلَاءَ فَأَحْمِلُ أَنَا، وَغُلَامٌ نَحْوِي، إِدَاوَةً
مِنْ مَاءٍ، وَعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ»
“Rasulullah ﷺ pernah masuk
jamban, lalu aku bersama anak yang semisalku membawa bejana berisi air dan juga
membawa tongkat, maka Beliau beristinja’ dengan air.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ
لِحَاجَتِهِ، فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu pergi untuk buang
hajat, maka hendaknya ia beristijmar dengan tiga buah batu, karena hal itu
cukup baginya.” (HR. Ahmad dan Daruquthni, ia berkata, “Isnadnya shahih.”)
Dan menggabung antara air dan batu adalah lebih utama.
Istijmar bisa menggunakan batu atau yang menempati posisinya
berupa apa saja yang suci, membersihkan, dan mubah, seperti tisu, kayu, dsb.
Yang demikian adalah, karena Nabi ﷺ beristijmar dengan batu, sehingga termasuk
pula sesuatu yang semisalnya yang sama dapat membersihkan.
Dan tidak sah beristijmar kurang dari tiga usapan. Hal ini
berdasarkan hadits Salman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Beliau ﷺ melarang kami
beristinja dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu yang kurang dari tiga
buah, dan beristinja dengan kotoran dan tulang (HR. Muslim).
Nah, semoga jadi manfaat bagi semua pembaca Binaa Ilmu. Semoga sahabat edumipedia menemukan apa yang dicari di risalah ini. Bila ada pertanyaan, silakan tanya di kolom komentar. Insya Allah akan dijawab langsung atau melalui risalah yang akan datang.
Wallahu`alam
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata
menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari
ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan
sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada
banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan
menjelaskan tentang Jenis-jenis Najis, simak penjelasan kami berikut:
Allah ﷻ berfirman :
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (Terj. Al Baqarah:
222)
Dengan tobat, batin seseorang menjadi bersih dan dengan
bersuci, bagian luar manusia menjadi bersih. Bersuci di sini, mencakup bersuci
dari khabats (kotoran) dan bersuci dari hadats. Bersuci dari kotoran yaitu
dengan menghilangkan najis yang menimpa pakaian, badan, maupun tempat shalat,
sedangkan bersuci dari hadats, yaitu dengan wudhu', mandi, dan tayammum.
Dalam risalah ini insya Allah akan dibahas tentang najis dan
cara membersihkannya, semoga Allah ﷻ menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa melalui proses
penyembelihan. Dalil tentang najisnya bangkai adalah sabda Rasulullah ﷺ :
اِذَا دُبِغَ اْلِإهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
"Apabila kulit (bangkai) disamak, maka ia menjadi
suci." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى
بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
Ketika perang Tabuk, Rasulullah ﷺ mendatangi sebuah
rumah, lalu beliau menemukan sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau
kemudian minta diambilkan air dengan wadah tersebut, maka para sahabat pun
berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai."
beliau bersabda: "Penyamakannya telah menjadikan ia suci."
Termasuk ke dalam bangkai adalah anggota badan binatang
hidup yang dipotong sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain.
Namun tidak termasuk ke dalam najis apa yang disebutkan di
bawah ini:
a.
Bangkai ikan dan belalang, keduanya adalah suci.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ : أَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
"Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah.
Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah
adalah hati dan limpa." ((HR. Ahmad dan Baihaqi, Shahihul Jami' 210))
b.
Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya,
seperti lalat, semut dan lebah. Oleh karena itu, jika binatang-binatang ini
jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah membuatnya najis.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَقَعَ اَلذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ, ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ, فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً, وَفِي اَلْآخَرِ شِفَاءً
"Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang
di antara kamu maka tenggelamkanlah, kemudian tariklah karena pada salah satu
sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada obatnya.” (HR.
Bukhari)
c.
Tulang bangkai, tanduknya, kukunya, rambutnya,
giginya, bulunya, dsb.
Hal itu, karena hukum asalnya
adalah suci.
Dalil tentang najisnya darah haidh adalah hadits Asma' binti
Abi Bakar radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Ada seorang wanita yang datang
kepada Nabi ﷺ
dan berkata, "Pakaian salah seorang di antara kami terkena darah haidh,
apa yang harus dilakukannya?" Beliau ﷺ menjawab:
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرِصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ
"Ia mengeriknya lalu
menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya dan (boleh) mengenakan shalat
dengannya." ((Muttafaq 'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim))
Allah ﷻ
berfirman:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ
خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah, "Tidaklah aku peroleh dalam wahyu
yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor." (Terj. QS. Al An'aam:
145)
Najisnya babi sama seperti najisnya yang lain, sehingga
menyucikannya cukup mencucinya sekali.
Najisnya kencing dan kotoran manusia adalah perkara yang
sudah maklum. Hanya saja diberikan keringanan pada kencing bayi laki-laki
yang belum memakan makanan. Oleh karena itu, cara membersihkannya cukup dengan
dipercikkan. Rasulullah ﷺ
bersabda:
بَوْلُ اْلغُلاَمِ يُنْضَحُ عَلَيْهِ ، وَبَوْلُ اْلجَارِيَةِ يُغْسَلُ
“Kencing bayi laki-laki dipercikkan, sedangkan kencing
bayi perempuan dicuci.”
Qatadah berkata, “Hal ini jika keduanya masih belum memakan
makanan. Jika sudah, maka kencing keduanya harus dicuci.” ((HR. Ahmad –ini
adalah lafaznya-, juga diriwayatkan oleh pemilik kitab Sunan selain Nasa’i, Al
Haafizh dalam Al Fat-h berkata: “Isnadnya shahih”))
Madzy adalah air yang keluar dari kemaluan berwarna putih
dan lengket, biasanya keluar ketika syahwat tinggi, namun tidak disudahi dengan
lemas setelah keluarnya, berbeda dengan mani. Sedangkan wady adalah air yang
keluar dari kemaluan berwarna putih dan tebal, biasanya keluar setelah kencing.
Madzy dan wady adalah najis.
Dalil tentang najisnya madzy adalah hadits
Ali radhiyallahu 'anhu ia berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ »
.
"Aku adalah seorang laki-laki yang banyak keluar
madzy, aku malu bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena
puterinya, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada Beliau,
sabdanya, "Hendaknya ia cuci kemaluannya dan berwudhu'." ((Muttafaq
'alaih, lafaz ini adalah lafaz Muslim))
Jika madzi mengenai badan, maka wajib dicuci dan jika
mengenai pakaian maka cukup dengan dipercikkan (rasysy) dengan air. Dalil
cukupnya memercikkan pakaian yang terkena madzy adalah hadits Sahl bin
Hunaif, ia berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana jika madzi mengenai kainku?”
Beliau menjawab, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, lalu kamu
percikkan ke kainmu sampai kamu melihat air tersebut telah mengenainya.” ((Hasan,
HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi))
Sedangkan dalil tentang najisnya wady adalah
kata-kata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang wady dan madzy:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ فِي الصَّلاَةِ
"Basuhlah dzakarmu atau kemaluanmu dan berwudhu'lah
seperti wudhu'mu untuk shalat." (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Tentang mani
Adapun mani, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa ia
adalah najis, namun yang rajih bahwa mani itu suci, akan tetapi dianjurkan
mencucinya jika basah dan mengeriknya jika kering. Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata, "Aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah ﷺ ketika sudah kering
dan mencucinya jika masih masah." ((HR. Daruquthni, Abu 'Uwanah dan Al
Bazzar))
Contoh hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah kucing dan
tikus. Dalil tentang najisnya kencing dan kotoran hewan yang tidak
dimakan dagingnya adalah hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata:
Nabi ﷺ
pernah datang ke tempat buang hajat, lalu menyuruhku untuk membawakan tiga buah
batu. Aku mendapatkan dua buah batu dan mencari yang ketiganya, namun tidak
menemukan, aku pun mengambil kotoran hewan dan membawanya, maka Beliau
mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran hewan, Beliau ﷺ bersabda,
"Ini adalah najis." ((HR. Bukhari, dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Ia adalah najis, ia adalah kotoran keledai."))
Namun dimaafkan jika hanya sedikit karena agak sulit
menghindarkan diri darinya. Al Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Al
Auza'iy, "Lalu bagaimana dengan kencing binatang yang tidak dimakan
dagingnya seperti bighal, keledai dan kuda?" Ia menjawab: "Dahulu
orang-orang terkena hal itu dalam perang mereka, namun mereka tidak mencuci
badan atau pakaian mereka."
Adapun kencing dan kotoran binatang yang dimakan dagingnya,
maka menurut Imam Malik, Ahmad dan jama'ah para ulama madzhab Syafi'i bahwa hal
itu adalah suci. Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak ada salah seorang sahabat
yang mengatakan najisnya."
Telah ada larangan menunggangi binatang jallalah, memakan
dagingnya dan meminum susunya. Ini semua menunjukkan najisnya. Ibnu Abbas
berkata:
"Rasulullah ﷺ melarang meminum susu binatang Jallalah." ((HR. Lima orang
selain Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Tirmidzi))
Amr bin Syu'aib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya
sbb:
"Rasulullah ﷺ melarang memakan daging keledai negeri dan melarang jallalah,
yaitu melarang untuk ditunggangi dan dimakan dagingnya." ((HR. Ahmad,
Nasa'i dan Abu Dawud))
Jallalah adalah binatang yang memakan kotoran, baik
unta, sapi, kambing, ayam, itik dsb. sehingga tercium bau. Jika binatang
tersebut dijauhkan dari kotoran beberapa lama dan diberi makanan yang suci
sehingga dagingnya menjadi enak dan tidak disebut lagi sebagai jallalah
(pemakan kotoran), maka binatang tersebut menjadi halal, karena sebab
dilarangnya sudah hilang.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya bejana (wadah) salah seorang di antara kamu apabila
dijilati anjing adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan yang pertama
(dicampur) dengan tanah."[2]
((HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi))
Jika anjing menjilat suatu wadah yang di dalamnya terdapat
makanan yang beku (jamid), maka dibuang bagian yang dikenainya serta bagian
sekitarnya, selebihnya bisa dimanfaatkan karena masih suci. Adapun jika di
dalam wadah tersebut berisi air, maka air tersebut harus dibuang.
Diqiaskan dengan mulutnya adalah seluruh badannya (yakni
seluruh badannya juga najis), pendapat yang mengatakan najisnya ‘ain (badan)
anjing adalah pendapat jumhur ulama.
[1] Menurut
penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh
KSA), bahwa termasuk najis adalah darah yang mengalir dari hewan yang dapat
dimakan, dalilnya (أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا)
artinya “atau darah yang mengalir” (QS. Al An’aam: 145), adapun darah yang
masih menempel di daging dan urat, maka itu suci, wallahu a’lam.
[2] Menurut penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh KSA), bahwa hukum ini berlaku baik pada wadah maupun lainnya seperti pakaian dan permadani, namun di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa perintah membasuh sebanyak tujuh kali ini hanyalah apabila anjing menjilat wadah yang berisi air. Selain itu, maka cara penyuciannya adalah dengan menghilangkan najis itu tidak harus tujuh kali. Karena cara penyucian yang tidak disebutkan tatacaranya oleh syariat, maka intinya menghilangkan najis itu; baik warna maupun baunya, wallahu a’lam.
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.
Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan menjelaskan tentang pentingnya Niat, simak penjelasan kami berikut:
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” ((Kitab Shahih Bukhari, Hadits pertama))
1. Mengikhlaskan amalan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) Ta’ala yang paling baik.
2. Syarat diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada maka amalan tersebut tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua sayap.
3. Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian juga mengharapkan ketentraman batin dan dada yang lapang.
4. Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”
5. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.
6. Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun ada juga tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala keikhlasan. Misalnya:
Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.
Mungkin timbul pertanyaan, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab: “Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”
Jika ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak mendapat apa-apa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ
Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. ((HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani))
7. Jika seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia. Misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ [11:15]أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [11:16]
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah Huud: 15-16)
8. Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh berkata, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’ juga.”
Wallahu a’lam.
Berkaitan dengan kuburan apalagi kuburan yang dianggap
keramat, ternyata respon orang cukup beragam. Ada yang sangat suka dengan
kuburan keramat, kemana-mana yang dicari kuburan keramat. Tak jarang pula ada
yang sampai meminta dikabulkan hajatnya oleh orang yang di kuburan.
Adapula orang yang tak suka dengan kuburan keramat. Sampai
untuk datang ziarah ke kuburannya saja sudah dianggap syirik, dianggapnya yang
datang ke kuburan keramat itu pasti menyembahnya. Bahkan tak jarang, sampai tak
berani ziarah ke makam orang tuanya sendiri, khawatir dianggap syirik dan dosa.
Kuburiyyun; Sebuah istilah baru yang biasanya disematkan
oleh orang yang anti ziarah kubur kepada orang yang suka ziarah kubur.
Cukup susah jika harus mendefinisakan arti kuburiyyun baik
secara bahasa atau istilah. Karena penulis belum menemukan definisi yang jelas
dari para pembuat istilah itu, “Apa itu Kuburiyyun dan siapa saja mereka”.
Tetapi jika dibaca dan disimpulkan dari tulisan-tulisan
pembuat istilah, penulis dapat simpulkan bahwa Kuburiyyun adalah orang yang
suka pergi ke Kubur. Entah ke kubur untuk menyembahnya, mencari wangsit untuk
nomer togel, meminta pesugihan. Bahkan para pembuat istilah, orang yang datang
ke kubur para wali dan orang shaleh juga dikategorikan sebagai kuburiyyun
sehingga hukumnya sama. Entah, pembuat istilah memasukkan tukang gali kubur
dalam pengertian kuburiyyun atau tidak WaAllahu a’lam.
Tentu ini menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas.
Kenapa? Karena disini ada generalisasi istilah Kuburiyyun, penyama rataan hukum
kuburiyyun antara yang datang ke kubur untuk menyembahnya dan yang datang ke
kubur para wali untuk mendo’akannya.
Tentu pembahasan yang sungguh menarik, karena menyangkut
status keimanan seorang muslim yang telah bersyahadat tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad Rasul Allah. Karena menurut pengamatan penulis, ada beberapa pihak
yang menyamakan ziarah ke makam wali itu seperti ziarahnya Umat Yahudi,
Nahsrani, dan Konghuchu.
Sebelum kita membahas tentang hukum kuburiyyun, ziarah ke
makam wali, mengadakan perjalanan untuk ziarah, perjalanan ziarah ke makam oleh
para Ulama zaman dahulu, ada baiknya kita bahas istilah “Kuburiyyun” secara
bahasa.
Kuburiyyun atau “Kuburiyyun” ada bentuk nisbat[1]
atau penyandaran dari kata “Qubur”. Dalam ilmu sharaf/morfologi, Qubur
[qaf-ba’-wawu-ra’] adalah bentuk jama’/prular dari “Qabrun”[2].
Qabrun jama’nya Qubur, sedangkan Maqbarah jama’nya maqabir. Jama’ ini namanya
Jama’ Taktsir.
Secara ilmu nahwu/sintaksis, ketika terjadi penisbatan/
pemberian ya’ nisbat suatu kata ketika dalam bentuk jama’, maka harus
dikembalikan kepada bentuk mufrad/ singularnya. Terlebih jika jama’nya adalah
mudzakkar salim atau mu’annats salim.
Dalam bait Alfiyyah Ibnu Malik disebutkan:
وعلم التثنية احذف للنسب*** ومثل ذا في جمع تصحيح وجب
Adapun tanda isim tastniyyah dan jamak mudzakar salim, maka
buanglah alamat tasniyyah dan jamaknya jika dinasabkan.
Sebagai contoh: Jama’ ”muslimuna” ketika dinasabkan menjadi
“muslimiyy”.
Sebagaimana Jama’ Taksir juga. Dalam kasus istilah
“Kuburiyyun” jika mengikuti kaedah kebahasaan yang benar seharusnya
dikembalikan ke mufradnya dahulu.
Dalam bait Alfiyyah disebutkan dalam bab Nisbat:
والواحد اذكر ناسبا للجمع *** إن لم يشابه واحدا بالوضع[3]
Maka sebutkanlah mufradnya jika ingin menasabkan jamak...
Maka seharusnya penisbatan kata “Qubur” bukan Kuburiyyun
tapi “Qabriyyun”. Karena mufrad dari Qubur adalah Qabrun.
Meski Majma’ Lughah Al Arabiyyah Mesir pada tahun 1937
menyatakan boleh nisbat kepada jama’ taksir ketika dibutuhkan. Sebagai contoh:
Anshar [jama taksir dari Nashir] boleh dikatakan Anshariyyu. Tapi hal ini tidak
dikenal para Ulama Ahli Nahwu masa lalu.
Tentu masalah ini adalah masalah yang cukup sensitive.
Disatu sisi, ada umat islam yang giat melaksanakan ziarah ke makam para ulama.
Disisi lain ada umat islam yang menuduhnya sebagai pangkal dari kerusakan
dunia, pendangkalan iman bahkan termasuk perbuatan syirik.
Alasan pertama mengapa ziarah para Ulama itu tidak
disyariatkan karena adanya “Syaddu Ar-rihal” atau bepergian disitu.
Dalilnya: Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إلى
ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
“Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu
Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[4]
Tidak boleh bepergian kecuali ke tiga masjid. Hadits ini
selalu dijadikan dalil pelarangan bepergian, terkhusus ke kubur para ulama.
Tapi bagaimana memahami hadits tidak boleh mengadakan
perjalanan jauh kecuali kepada 3 masjid diatas?
Jika dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian
dan mengadakan perjalanan jauh, pastinya bepergian ke daerah lain untuk
kunjungan, studi banding, belajar, bekerja atau hanya sekedar wisata juga
dilarang.
Nyatanya hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh
kalangan yang melarang ziarah makam ulama sekalipun.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya[5]
berkata:
قوله : إلا إلى ثلاثة مساجد المستثنى منه
محذوف،فإما أن يقدر عاماً فيصير:لا تشد الرحال إلى مكان في أي أمر كان إلا لثلاثة
أو أخص من ذلك ،لا سبيل إلى الأول لإفضائه إلى سد باب السفر للتجارة وصلة الرحم
وطلب العلم وغيرها، فتعين الثاني، والأولى أن يقدر ما هو أكثر مناسبة وهو : لا تشد
الرحال إلى مسجد للصلاة فيه إلا إلى الثلاثة ، فيبطل بذلك قول من منع شد الرحال
إلى زيارة القبر الشريف وغيره من قبور الصالحين ، والله أعلم
Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga
masjid] maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan
itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga tempat
itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk bisnis,
silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya. Lebih utama mustatsna minhunya
dikira-kirakan kepada yang lebih sesuai. Maka tak boleh mengadakan perjalanan
jauh untuk shalat di suatu masjid tertentu kecuali ke 3 masjid. Dengan ini
batallah pernyataan orang yang melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah
kuburnya Nabi dan kubur orang shalih lainnya.
Para ulama memaknai hadits ini, bahwa tidak ada masjid yang
mulia untuk diadakan perjalanan jauh untuk shalat di dalamnya kecuali kepada
tiga masjid tadi. Karena mustatsna ada dari jenisnya mustasna minhu.
Tetapi jika bepergian jauh ke suatu masjid selain 3 masjid
bukan karena meyakini keutamaan tempatnya, tetapi karena orang yang berada di
masjid itu maka hukumnya boleh. Sebagaimana pergi mengadakan perjalanan jauh ke
suatu masjid karena di masjid itu ada kajian seorang ustadz syeikh atau guru
atau karena alasan silaturrahim maka hukumnya boleh[6].
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ «اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis
pula lah orang-orang di sekitar beliau.
Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk
memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku
pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan.
Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” [HR.
Muslim no.108, 2/671].
Hadits diatas sebagai dalil jika mengadakan perjalan ziarah
ke kubur bukan hal yang dilarang, termasuk mengadakan ziarah ke makam orang
tua. Nabi Muhammad memerintahkan berziarah ke kubur, karena hal itu bisa
mengingatkan kepada kematian.
Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad Shallaallahu alaihi wa
sallam berada di sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan
nama kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu
artikel alarabiya.net.
Jarak 180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek
lagi. Dalam kitab fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar
diantaranya adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan
perjalanan cukup jauh untuk mengunjungi makam Ibunya.
Nabi Muhammad Shallaallahu alihi wa sallam bersabda:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا
فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur.
Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat
melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan
akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul
hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]
Para Ulama ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai adanya
amar setelah nahyi, adanya perintah setelah sebelumnya dilarang, sebagaimana
hadits diatas[7].
Pendapat pertama; amar setelah nahyi bermakna wajib. Ini
adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, Ibnu Hazm. Maksudnya
jika ada suatu perintah, sebelumnya dilarang, maka perintah itu artinya sebuah
kewajiban.
Pendapat kedua; berfaedah mubah. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama dari Imam Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.
Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal
sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.
Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap. Ini adalah pendapat Al-Juwaini dan Al-Amidi.
Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur,
baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.
Ketika seorang ibu menyuruh anaknya beli beras di warung,
berarti jalan ke warung itu sarana untuk melaksanakan perintah itu membeli
beras. Tak mungkin jika ibu memerintahkan beli beras ke warung, tapi ibu
melarang anaknya untuk keluar rumah.
أن للوسائل أحكام المقاصد[8]
Wasilah/ perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti
tujuan sesuatu tersebut.
Sebagaimana ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang
mengatakan mubah. Maka mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah.
Bagaimana bisa hukum ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk
sampai ke tempat yang diziarahi hukumnya haram.
Ada yang menggunakan dalil saddu Ad-dzari'ah atau mencegah
kerusakan yang lebih parah untuk melarang ziarah ke makam, dengan alasan
dikhawatirkan akan musyrik jika berziarah.
Nabi Muhammad dahulu pernah melarang ziarah kubur, lalu Nabi
memerintahkan ziarah kubur. Lantas ada yang bukan Nabi, tapi melarang ziarah
kubur karena khawatir terjatuh kepada kesyirikan. Kok bisa? Apakah dia lebih
nabi dari Nabi?
Padahal Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam
bersabda:
إِنِّي لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُم أَنْ
تُشْرِكُوا وَلَكِنيِّ أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوهَا
“Sesungguhnya aku tidak takut (khawatir) kalian akan menjadi
musyrik (menyekutukan Allah sepeninggalku nanti), akan tetapi aku takut
(khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari,
Muslim dan Ahmad).
Tentu hadits diatas bukan berarti menganggap remeh
kesyirikan, tapi menganggap ziarah kubur ke orang shalih itu sebagai kesyirikan
yang menanggalkan keimanan itu sungguh pemikiran yang tak inshaf dan terlalu
terburu-buru.
Dalam hadits lain dengan sanad yang shahih, bahaya akhir
zaman tak hanya syirik itu sendiri, tetapi menuduh saudaranya syirik itulah
yang dikhawatirkan Nabi. Nabi ﷺ bersabda:
عن حُذَيْفَةَ حَدَّثَهُ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ
عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ،
وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، فَانْسَلَخَ
مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ،
وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى
بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي» (صحيح ابن
حبان، / 282)
“Sesungguhnya yang
paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca
(menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap
Al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari Al-Qur’ân,
membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang
dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah
yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab,
“Penuduhnya”. [HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan
al-Bazzâr).
Biar tambah puas, hadits diatas juga dishahihkan oleh Albani
dalam Kitabnya Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, juz 7, hal. 605.
Tak jarang, sampai terlalu sukanya dengan kuburan keramat,
semua ditelan mentah-mentah dan kehilangan nalar kritisnya. Kuburan keramat
palsu pun didatangi. Bisa jadi kuburan keramat itu cuma bikinan si kuncen saja,
biar pundi-pundi kotak amal masuk ke kantong. Istilahnya dibuat seolah-olah
sakral, dainggap sebagai petilasan wali. Maka tak heran, satu wali dianggap
memiliki banyak makam di beberapa tempat.
Bukan berarti tak ada kemunkaran dalam beberapa kasus ziarah
ke kuburan orang shalih, tapi melarang ziarah ke kuburan karena kekhatiran
berlebih dan tak selalu terbukti adalah sesuatu yang tak dibenarkan dalam
syariah. Waallahua'lam.
[1] Nisbat
dalam ilmu Nahwu dipahami sebagai penambahan huruf “ya’” nisbat diakhir kalimat
sebagai tanda kebangsaan, karena menisbatkan/ menyandarkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain. Sebagai contoh Mishriyyun: orang yang berbangsa Mesir,
Jawiyyun: Orang Jawa.
[2] Jamaluddin
Abdullah Al Anshari, Audhahul Masalik, bab Abniyatul katsrah. Ibnu Aqil Syarah
Alfiyyah Ibnu Malik, Ibnu Aqil: 4/128
[3] Alfiyyah
Ibnu Malik Bab Nasab, lihat: An Nahwu Al Wafi, Abbas Hasan: 4/741, Syarah
Asymuni ala Alfiyyah Ibni Malik, Asymuni: 2/14, Syarah Ibnu Aqil, Ibnu Aqil:
4/167
[4] HR.
Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu
Hurairah
[5] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: 3/66
[6] Al
Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361.
[7] Lihat:
Al-Bahru al-Muhith: 2/111, Al-Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398, Ahkam Ibn
hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87
[8] Lihat:
Syarah Tanqihul Fushul: 449, I’lamul Muwaqqi’in: 3/135
Judul : Kitab Adabul Islam fi Nidhomil Usroh Penulis : Muhammad bin Alawi al-Maliki Penerbit : Halaman : 178 halaman Ha…
Salam sahabat Binaar, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi d…
Salam sahabat Binaa Ilmu , dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih l…
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih la…
Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih la…
Berkaitan dengan kuburan apalagi kuburan yang dianggap keramat, ternyata respon orang cukup beragam. Ada yang sangat suka …
Our website uses cookies to improve your experience. Learn more
حسنًا