Artist

header ads

Hukum Ziarah Kubur

 


Berkaitan dengan kuburan apalagi kuburan yang dianggap keramat, ternyata respon orang cukup beragam. Ada yang sangat suka dengan kuburan keramat, kemana-mana yang dicari kuburan keramat. Tak jarang pula ada yang sampai meminta dikabulkan hajatnya oleh orang yang di kuburan.

 

Adapula orang yang tak suka dengan kuburan keramat. Sampai untuk datang ziarah ke kuburannya saja sudah dianggap syirik, dianggapnya yang datang ke kuburan keramat itu pasti menyembahnya. Bahkan tak jarang, sampai tak berani ziarah ke makam orang tuanya sendiri, khawatir dianggap syirik dan dosa.

 

Pengertian Kuburiyyun

Kuburiyyun; Sebuah istilah baru yang biasanya disematkan oleh orang yang anti ziarah kubur kepada orang yang suka ziarah kubur.

 

Cukup susah jika harus mendefinisakan arti kuburiyyun baik secara bahasa atau istilah. Karena penulis belum menemukan definisi yang jelas dari para pembuat istilah itu, “Apa itu Kuburiyyun dan siapa saja mereka”.

 

Tetapi jika dibaca dan disimpulkan dari tulisan-tulisan pembuat istilah, penulis dapat simpulkan bahwa Kuburiyyun adalah orang yang suka pergi ke Kubur. Entah ke kubur untuk menyembahnya, mencari wangsit untuk nomer togel, meminta pesugihan. Bahkan para pembuat istilah, orang yang datang ke kubur para wali dan orang shaleh juga dikategorikan sebagai kuburiyyun sehingga hukumnya sama. Entah, pembuat istilah memasukkan tukang gali kubur dalam pengertian kuburiyyun atau tidak WaAllahu a’lam.

 

Antara Berziarah dan Menyembah

Tentu ini menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas. Kenapa? Karena disini ada generalisasi istilah Kuburiyyun, penyama rataan hukum kuburiyyun antara yang datang ke kubur untuk menyembahnya dan yang datang ke kubur para wali untuk mendo’akannya.

 

Tentu pembahasan yang sungguh menarik, karena menyangkut status keimanan seorang muslim yang telah bersyahadat tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Karena menurut pengamatan penulis, ada beberapa pihak yang menyamakan ziarah ke makam wali itu seperti ziarahnya Umat Yahudi, Nahsrani, dan Konghuchu.

 

Kuburiyyun; Rancu Secara Bahasa

Sebelum kita membahas tentang hukum kuburiyyun, ziarah ke makam wali, mengadakan perjalanan untuk ziarah, perjalanan ziarah ke makam oleh para Ulama zaman dahulu, ada baiknya kita bahas istilah “Kuburiyyun” secara bahasa.

 

Kuburiyyun atau “Kuburiyyun” ada bentuk nisbat[1] atau penyandaran dari kata “Qubur”. Dalam ilmu sharaf/morfologi, Qubur [qaf-ba’-wawu-ra’] adalah bentuk jama’/prular dari “Qabrun”[2]. Qabrun jama’nya Qubur, sedangkan Maqbarah jama’nya maqabir. Jama’ ini namanya Jama’ Taktsir.

 

Secara ilmu nahwu/sintaksis, ketika terjadi penisbatan/ pemberian ya’ nisbat suatu kata ketika dalam bentuk jama’, maka harus dikembalikan kepada bentuk mufrad/ singularnya. Terlebih jika jama’nya adalah mudzakkar salim atau mu’annats salim.

 

Dalam bait Alfiyyah Ibnu Malik disebutkan:

 

وعلم التثنية احذف للنسب***  ومثل ذا في جمع تصحيح وجب

 

Adapun tanda isim tastniyyah dan jamak mudzakar salim, maka buanglah alamat tasniyyah dan jamaknya jika dinasabkan.

 

Sebagai contoh: Jama’ ”muslimuna” ketika dinasabkan menjadi “muslimiyy”.

 

Sebagaimana Jama’ Taksir juga. Dalam kasus istilah “Kuburiyyun” jika mengikuti kaedah kebahasaan yang benar seharusnya dikembalikan ke mufradnya dahulu.

 

Dalam bait Alfiyyah disebutkan dalam bab Nisbat:

 

والواحد اذكر ناسبا للجمع ***  إن لم يشابه واحدا بالوضع[3]

 

Maka sebutkanlah mufradnya jika ingin menasabkan jamak...

 

Maka seharusnya penisbatan kata “Qubur” bukan Kuburiyyun tapi “Qabriyyun”. Karena mufrad dari Qubur adalah Qabrun.

 

Meski Majma’ Lughah Al Arabiyyah Mesir pada tahun 1937 menyatakan boleh nisbat kepada jama’ taksir ketika dibutuhkan. Sebagai contoh: Anshar [jama taksir dari Nashir] boleh dikatakan Anshariyyu. Tapi hal ini tidak dikenal para Ulama Ahli Nahwu masa lalu.

 

Kuburiyyun Suka Mengadakan Perjalanan

 

Tentu masalah ini adalah masalah yang cukup sensitive. Disatu sisi, ada umat islam yang giat melaksanakan ziarah ke makam para ulama. Disisi lain ada umat islam yang menuduhnya sebagai pangkal dari kerusakan dunia, pendangkalan iman bahkan termasuk perbuatan syirik.

 

Alasan pertama mengapa ziarah para Ulama itu tidak disyariatkan karena adanya “Syaddu Ar-rihal” atau bepergian disitu.

 

Dalilnya: Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam bersabda:

 

وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إلى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي

 

“Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[4]

 

Tidak boleh bepergian kecuali ke tiga masjid. Hadits ini selalu dijadikan dalil pelarangan bepergian, terkhusus ke kubur para ulama.

 

Tapi bagaimana memahami hadits tidak boleh mengadakan perjalanan jauh kecuali kepada 3 masjid diatas?

 

Jika dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian dan mengadakan perjalanan jauh, pastinya bepergian ke daerah lain untuk kunjungan, studi banding, belajar, bekerja atau hanya sekedar wisata juga dilarang.

 

Nyatanya hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh kalangan yang melarang ziarah makam ulama sekalipun.

 

Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya[5] berkata:

 

قوله : إلا إلى ثلاثة مساجد المستثنى منه محذوف،فإما أن يقدر عاماً فيصير:لا تشد الرحال إلى مكان في أي أمر كان إلا لثلاثة أو أخص من ذلك ،لا سبيل إلى الأول لإفضائه إلى سد باب السفر للتجارة وصلة الرحم وطلب العلم وغيرها، فتعين الثاني، والأولى أن يقدر ما هو أكثر مناسبة وهو : لا تشد الرحال إلى مسجد للصلاة فيه إلا إلى الثلاثة ، فيبطل بذلك قول من منع شد الرحال إلى زيارة القبر الشريف وغيره من قبور الصالحين ، والله أعلم

 

Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga masjid] maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga tempat itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk bisnis, silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya. Lebih utama mustatsna minhunya dikira-kirakan kepada yang lebih sesuai. Maka tak boleh mengadakan perjalanan jauh untuk shalat di suatu masjid tertentu kecuali ke 3 masjid. Dengan ini batallah pernyataan orang yang melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah kuburnya Nabi dan kubur orang shalih lainnya.

 

Para ulama memaknai hadits ini, bahwa tidak ada masjid yang mulia untuk diadakan perjalanan jauh untuk shalat di dalamnya kecuali kepada tiga masjid tadi. Karena mustatsna ada dari jenisnya mustasna minhu.

 

Tetapi jika bepergian jauh ke suatu masjid selain 3 masjid bukan karena meyakini keutamaan tempatnya, tetapi karena orang yang berada di masjid itu maka hukumnya boleh. Sebagaimana pergi mengadakan perjalanan jauh ke suatu masjid karena di masjid itu ada kajian seorang ustadz syeikh atau guru atau karena alasan silaturrahim maka hukumnya boleh[6].

 

Ziarah Nabi ke Kubur Ibunya

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ «اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

 

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau.

 

Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” [HR. Muslim no.108, 2/671].

 

Hadits diatas sebagai dalil jika mengadakan perjalan ziarah ke kubur bukan hal yang dilarang, termasuk mengadakan ziarah ke makam orang tua. Nabi Muhammad memerintahkan berziarah ke kubur, karena hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.

 

Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad Shallaallahu alaihi wa sallam berada di sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan nama kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu artikel alarabiya.net.

 

Jarak 180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek lagi. Dalam kitab fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar diantaranya adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan perjalanan cukup jauh untuk mengunjungi makam Ibunya.

 

Ziarah Kubur; Diperintahkan Setelah Dilarang

Nabi Muhammad Shallaallahu alihi wa sallam bersabda:

 

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

 

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]

 

Para Ulama ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai adanya amar setelah nahyi, adanya perintah setelah sebelumnya dilarang, sebagaimana hadits diatas[7]. 

 

Pendapat pertama; amar setelah nahyi bermakna wajib. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, sebagian Syafi’iyyah, Ibnu Hazm. Maksudnya jika ada suatu perintah, sebelumnya dilarang, maka perintah itu artinya sebuah kewajiban.

 

Pendapat kedua; berfaedah mubah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Imam Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.

 

Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.

 

Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap.  Ini adalah pendapat Al-Juwaini dan Al-Amidi.

 

Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur, baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.

 

Hukum dari Sarana adalah Hukum dari Tujuan

Ketika seorang ibu menyuruh anaknya beli beras di warung, berarti jalan ke warung itu sarana untuk melaksanakan perintah itu membeli beras. Tak mungkin jika ibu memerintahkan beli beras ke warung, tapi ibu melarang anaknya untuk keluar rumah.

 

Dalam ilmu ushul fiqih, dikenal kaedah:

 

أن للوسائل أحكام المقاصد[8]

 

Wasilah/ perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti tujuan sesuatu tersebut.

 

Sebagaimana ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang mengatakan mubah. Maka mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah. Bagaimana bisa hukum ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk sampai ke tempat yang diziarahi hukumnya haram.

 

Saddu ad-Dzari'ah; Melarang yang Boleh

Ada yang menggunakan dalil saddu Ad-dzari'ah atau mencegah kerusakan yang lebih parah untuk melarang ziarah ke makam, dengan alasan dikhawatirkan akan musyrik jika berziarah.

 

Nabi Muhammad dahulu pernah melarang ziarah kubur, lalu Nabi memerintahkan ziarah kubur. Lantas ada yang bukan Nabi, tapi melarang ziarah kubur karena khawatir terjatuh kepada kesyirikan. Kok bisa? Apakah dia lebih nabi dari Nabi?

 

Padahal Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam bersabda:

 

إِنِّي لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُم أَنْ تُشْرِكُوا وَلَكِنيِّ أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوهَا

 

“Sesungguhnya aku tidak takut (khawatir) kalian akan menjadi musyrik (menyekutukan Allah sepeninggalku nanti), akan tetapi aku takut (khawatir) kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

 

Tentu hadits diatas bukan berarti menganggap remeh kesyirikan, tapi menganggap ziarah kubur ke orang shalih itu sebagai kesyirikan yang menanggalkan keimanan itu sungguh pemikiran yang tak inshaf dan terlalu terburu-buru.

 

Dalam hadits lain dengan sanad yang shahih, bahaya akhir zaman tak hanya syirik itu sendiri, tetapi menuduh saudaranya syirik itulah yang dikhawatirkan Nabi. Nabi   bersabda:

 

عن حُذَيْفَةَ حَدَّثَهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ»، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: «بَلِ الرَّامِي» (صحيح ابن حبان، / 282)

 

 “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap Al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari Al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. [HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan al-Bazzâr).

 

Biar tambah puas, hadits diatas juga dishahihkan oleh Albani dalam Kitabnya Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, juz 7, hal. 605.

 

Tak Mudah Percaya Kuburan Keramat

Tak jarang, sampai terlalu sukanya dengan kuburan keramat, semua ditelan mentah-mentah dan kehilangan nalar kritisnya. Kuburan keramat palsu pun didatangi. Bisa jadi kuburan keramat itu cuma bikinan si kuncen saja, biar pundi-pundi kotak amal masuk ke kantong. Istilahnya dibuat seolah-olah sakral, dainggap sebagai petilasan wali. Maka tak heran, satu wali dianggap memiliki banyak makam di beberapa tempat.

 

Bukan berarti tak ada kemunkaran dalam beberapa kasus ziarah ke kuburan orang shalih, tapi melarang ziarah ke kuburan karena kekhatiran berlebih dan tak selalu terbukti adalah sesuatu yang tak dibenarkan dalam syariah. Waallahua'lam.

 



[1] Nisbat dalam ilmu Nahwu dipahami sebagai penambahan huruf “ya’” nisbat diakhir kalimat sebagai tanda kebangsaan, karena menisbatkan/ menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Sebagai contoh Mishriyyun: orang yang berbangsa Mesir, Jawiyyun: Orang Jawa.

[2] Jamaluddin Abdullah Al Anshari, Audhahul Masalik, bab Abniyatul katsrah. Ibnu Aqil Syarah Alfiyyah Ibnu Malik, Ibnu Aqil: 4/128

[3] Alfiyyah Ibnu Malik Bab Nasab, lihat: An Nahwu Al Wafi, Abbas Hasan: 4/741, Syarah Asymuni ala Alfiyyah Ibni Malik, Asymuni: 2/14, Syarah Ibnu Aqil, Ibnu Aqil: 4/167

[4] HR. Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu Hurairah

[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari: 3/66

[6] Al Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361.

[7] Lihat: Al-Bahru al-Muhith: 2/111, Al-Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398, Ahkam Ibn hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87

[8] Lihat: Syarah Tanqihul Fushul: 449, I’lamul Muwaqqi’in: 3/135

Posting Komentar

0 Komentar