Artist

header ads

Masalah-masalah seputar niat

 


Salam sahabat Edumipedia, dalam mencari ilmu jangan ada kata menyerah ya sobat. Karena menyerah adalah hal bodoh, lebih lagi dalam mencari ilmi agama. Sebab ilmu agamalah yang mampu menuntun kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Surga.

Nah sahabat Edumipedia, kita yahu bahwa dalam islam ada banyak sekali cabang ilmu yang harus dipelajari bukan. Mulai dari ilmu Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Saraf, dan masih banyak lagi. Kali ini Edumipedia akan menjelaskan tentang pentingnya Niat, simak penjelasan kami berikut:

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” ((Kitab Shahih  Bukhari, Hadits pertama))

Masalah-masalah seputar niat

1.  Mengikhlaskan amalan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam yang menodai keikhlasan adalah cara taqarrub (pendekatan diri kepada Allah) Ta’ala yang paling baik.

2.  Syarat diterimanya ibadah ada dua; ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), jika salah satunya tidak ada maka amalan tersebut tertolak, ibarat burung yang butuh terbang dengan dua sayap.

3.  Banyaknya maksud (tujuan) yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, demikian juga mengharapkan ketentraman batin dan dada yang lapang.

4.  Niat yang baik dapat menjadikan perbuatan yang biasa (’adat) menjadi ibadah. Misalnya ketika dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya, dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan kenikmatan, ia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan menyudahinya dengan memuji Allah, ia pun meniatkan dengan makannya itu agar bisa menjalankan keta’atan kepada-Nya.

     Ibnul Qayyim dan ulama yang lain berkata, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barang siapa yang ingin amalnya menjadi sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada seorang hamba jika ia memperbagus niatnya meskipun pada saat ia menyuap makanan.”

5.  Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa menjadi keta’atan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan niat agar hasilnya untuk membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan yang haram.

6.  Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah namun ada juga tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi pahala keikhlasan. Misalnya:

  • Ketika melakukan thaharah (bersuci), disamping niatnya beribadah kepada Allah, ia juga berniat untuk membersihkan badan.
  • Puasa disamping untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
  • Menunaikan ibadah hajji disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah atau untuk bertamasya.
  • Shalat malam di samping untuk beribadah kepada Allah sekaligus agar bisa lulus ujian atau usahanya berhasil.
  • Menjenguk orang sakit disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus agar ia dijenguk pula jika sakit.
  • I’tikaf di masjid disamping ibadah kepada Allah sekaligus agar ringan biaya kontrak (sewa) tempat atau untuk melepas kelelahan mengurus keluarga.

Namun apabila yang lebih berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia bisa tidak memperoleh balasan di akhirat, tetapi hanya memperoleh balasan di dunia, bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.

Mungkin timbul pertanyaan, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”

Jawab: “Caranya adalah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan bila sebaliknya maka ia tidak mendapatkan pahala.”

Jika ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, berniat untuk beribadah kepada Allah dengan tujuan yang lain yang ternyata beratnya sama, maka menurut pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa orang tersebut tidak mendapat apa-apa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ

Bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala”. ((HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani))

7.  Jika seseorang mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia. Misalnya menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan), juga terancam ayat:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ [11:15]أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [11:16]

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.–Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (terjemah Huud: 15-16)

8.  Seseorang tidak boleh meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh berkata, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”

Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan) suatu amalan karena manusia adalah riya’ juga.”

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar