Kelahiran dan Pendidikan Masa Kecil
Keluarga Abu Tu Min dikenal sebagai keluarga yang paham akan
agama Islam. Hal ini dibuktikan dari silsilah keluarganya dimana kakeknya yang
bernama Abu Hanafiah adalah seorang pendiri sekaligus guru agama di desa
Gampong Blang Dalam dan ayahnya yang bernama Teungku Muhammad Mahmud atau lebih
dikenal dengan Teungku Muda Leube adalah salah seorang guru di dayah yang
dibangun oleh Abu Hanafiah. Teungku Muhammad Mahmud sendiri semasa hidupnya
pernah berguru kepada Teungku Hasan Krueng Kalee yang merupakan salah satu
ulama besar pada masa itu.
Teungku Muhammad Amin memiliki tiga orang istri yaitu:
v Nyak Ti
§
Tidak memiliki keturunan
v Juwairiah
§
Halimah, Habsah,
Syarifuddin, dan Jafar
v Khadijah
§
Muhammad Amin (Abu Tu Min),
Muhammad Ali, Nasruddin, Zainuddin, Mustafa, Hendon, Abdullah, Fatimah, dan
Ilyas.
Abu Tu Min dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1932 di
Gampong Kuala Jeumpa, Kecamatan Jeumpa, Bireuen. Ketika kecil dia lebih banyak
mendapatkan pendidikan keagamaan daripada pendidikan umum. Pendidikan umumnya
didapatkan dari Inlandsche Volkschool (sekolah dasar rakyat) hingga kelas tiga
karena masuknya Jepang ke Aceh. Pendidikan agamanya didapatkan dari dayah yang
didirikan oleh kakeknya, selain itu ia juga belajar di Dayah Pulo Reudeup,
Kecamatan Jangka, Bireuen serta Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Setelah menempuh pendidikan selama tujuh tahun maka pada tahun 1959, Abu Tu Min
kembali ke kampung halamannya dan mengajar di dayah yang didirikan oleh
kakeknya.[1]
Pernikahan
Abu Tu Min menikah pada tahun 1964 dengan seorang wanita
yang bernama Mujahidat. Mujahidat sendiri adalah putri dari pamannya yang
bernama Teungku Husin. Pernikahan ini sendiri adalah hasil perjodohan yang
dilakukan oleh kedua orang tua mereka.
Pengaruh Di Dalam Masyarakat Aceh
Abu Tu Min adalah salah satu ulama paling berpengaruh di
Aceh pada saat ini. Ia seringkali dimintai pendapat oleh pemerintah Aceh
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan pemerintah dan agama. Setiap
pendapat yang dikeluarkannya tidak pernah dibantah oleh ulama-ulama lainnya dan
bahkan itu menjadi sebuah fatwa yang disepakati.
Selain aktif di dayah yang didirikan oleh kakeknya, Abu Tu
Min juga aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh pada Majelis Syuyukh
atau Dewan Penasehat bersama dengan beberapa ulama lainnya. Berkat para
santrinya yang telah lulus dan mendirikan dayah di kampung halamannya sendiri
maka pendapat-pendapat Abu Tu Min juga ikut tersebar luas di beberapa kabupaten
di Aceh.
Tidak hanya di kalangan murid-muridnya, pendapat Abu Tu Min
juga dijadikan sebagai rujukan untuk menyelesaikan konflik sosial. Ia sering
dimintai pendapat oleh pihak-pihak yang bertikai ketika konflik Aceh
berlangsung. Selain itu pada tahun 2009, ia juga terlibat untuk menyelesaikan
konflik tapal batas gampong Cot Bada dan Teupok Baroh yang tidak dapat
diselesaikan oleh unsur Muspida setempat pada masa itu.
[1] Muammar, Mawardi, Husaini (Juli 2018). "Abu Tumin: Biografi Ulama Dayah Aceh (1932-2017)". Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah. 3(Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah). Diakses tanggal 18 Oktober 2018.
0 Komentar
Terima kasih Atas Tanggapan Penuh Makna Dari Anda.
Bantulah kami untuk mengembangkan layanan kami agar lebih menuju sempurna saran dan ide kreatif dari anda para pengejar ilmu. Dan marilah kita bagikan layanan ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan bijih ilmu . Satu kebaikan dari anda, bagaikan matahari penerang bagi mereka yang kesulitan mendapatkannya.