Tentu sebuah kesedihan tersendiri jika janin yang telah ditunggu kehadirannya ternyata meninggal. Baik meninggal dalam kandungan atau meninggal setelah keluar dari kandungan. Sabar dan mengharap pahala dari Allah adalah cara terbaik menghadapinya.
Tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaan, apakah janin itu
tetap diberi nama? Ternyata para ulama telah membahasnya. Meski tetap ada
beberapa perbedaan pendapat diantara mereka.
Keluar Masih Hidup Lantas Meninggal
Jika janin telah keluar, telah ada pula tanda kehidupannya
seperti bernafas, berteriak atau menangis maka ulama sepakat jika janin itu
telah menjadi bayi atau manusia pada umumnya.
Maka semua ulama sepakat bahwa bayi yang telah keluar dalam
keadaan hidup, lantas meninggal itu diberi nama. Karena bayi itu telah memiliki
ruh dan menjadi manusia.
Keluar Sudah Meninggal
Seorang janin yang meninggal dahulu sebelum keluar dari
rahim ibunya disebut dengan as-siqthu (السقط). Ibnu Manzur
menyebutkan:
السَّقْطُ، بِالْفَتْحِ وَالضَّمِّ والكسرِ، والكسرُ أَكثر: الْوَلَدُ
الَّذِي يَسْقُطُ مِنْ بَطْنِ أُمه قَبْلَ تَمامِه. (لسان العرب، 7/ 316)
As-siqthu; dengan fathahnya sin dan dhammah atau kasrah.
Adapun dengan kasrah itu yang paling banyak yaitu anak yang keluar dari perut
ibunya sebelum sempurnanya.
Para ulama berbeda pendapat terkait diberi nama atau tidak.
Menurut Mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah; jika keluar dari perut ibunya tak ada
tanda kehidupan seperti menangis atau berteriak maka tak diberi nama. Sedangkan
menurut Mazhab Syafi'iyyah dan Hanabilah meski sudah meninggal sejak dalam
kandungan, selama sudah berbentuk manusia atau ditiupkan ruh, maka tetap diberi
nama. Kecuali jika cuma masih segumpal darah atau segumpal daging, maka itu
belum disebut anak. Meski menurut mazhab Hanafiiyah dan Malikiyyah, tidak diberi
nama bukan berarti dilarang diberi nama. Selengkapnya sebagai berikut:
Hanafiyyah
Dalam mazhab Hanafiyyah, tak usah diberi nama jika keluar
dari rahim dalam keadaan meninggal. Bayi diberi nama hanya ketika ada tanda
kehidupan setelah keluar dari rahim. Disebutkan dalam kitab Badai' as-Shanai':
رُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ قَالَ: إذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ
سُمِّيَ وَغُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَوَرِثَ وَوُرِثَ عَنْهُ، وَإِذَا لَمْ يَسْتَهِلَّ
لَمْ يُسَمَّ وَلَمْ يُغَسَّلْ وَلَمْ يَرِثْ. وَعَنْ مُحَمَّدٍ أَيْضًا أَنَّهُ لَا
يُغَسَّلُ وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ، وَهَكَذَا ذَكَرَ الْكَرْخِيُّ
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُسَمَّى وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ،
وَكَذَا ذَكَرَ الطَّحَاوِيُّ. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع (1/ 302)
Diriwayatkan dari Abu Hanifah beliau berkata: Ketika bayi
berteriak setelah dilahirkan maka diberi nama, dimandikan, dishalatkan,
mewarisi dan diwarisi. Jika belum berteriak maka tak diberi nama... (al-Kasani,
Badai' as-Shanai', 1/ 302).
Alauddin as-Samarqandi (w. 540 H); salah seorang ulama
mazhab Hanafiyyah menyebutkan bahwa tanda bayi dianggap masih hidup ketika
keluar dari rahim ibunya adalah ketika berteriak atau menangis. Maka jika
keluar sudah meninggal itu belum dianggap bayi.
وَلَا يصلى على من ولد مَيتا لما رُوِيَ عَن النَّبِي عَلَيْهِ
السَّلَام أَنه قَالَ إِذا اسْتهلّ الْمَوْلُود صلي عَلَيْهِ وَمن لم يستهل لم يصل
عَلَيْهِ لِأَن الاستهلال دلَالَة الْحَيَاة وَالْمَيِّت فِي عرف النَّاس من زَالَت
حَيَاته لَا يعلم أَنه خلقت الْحَيَاة فِيهِ أم لَا فَلم يعلم بِمَوْتِهِ وَلِهَذَا
قُلْنَا إِنَّه لَا يَرث وَلَا يُورث وَلَا يغسل وَلَا يُسمى لِأَن هَذِه أَحْكَام
الْأَحْيَاء وَلم تثبت حَيَاته. (تحفة الفقهاء، محمد بن أحمد بن أبي أحمد، أبو بكر
علاء الدين السمرقندي (المتوفى: نحو 540هـ)، 1/ 248)
... Seorang disebut mati jika diketahui sudah pernah
hidup. Maka bayi yang lahir dalam keadaan tak bernyawa itu tidak mewarisi,
diwarisi, dimandikan, diberi nama. Karena hukum itu berlaku untuk manusia yang
diketahui hidupnya. (as-Samarqandi, Tuhfat al-Fuqaha': 1/ 248)
Malikiyyah
Mazhab Malikiyyah juga berpendapat sama dengan mazhab
Hanafiyyah yang tak memberi nama kepada janin ketika lahir tidak dalam keadaan
masih hidup. Sebagaimana pernyataan dari Imam Malik bin Anas:
وَقَالَ مَالِكٌ: لَا يُصَلَّى عَلَى الصَّبِيِّ وَلَا يَرِثُ وَلَا
يُورَثُ، وَلَا يُسَمَّى وَلَا يُغَسَّلُ وَلَا يُحَنَّطُ حَتَّى يَسْتَهِلَّ صَارِخًا
وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ خَرَجَ مَيِّتًا (المدونة، 1/ 255)
Malik berkata: Bayi itu tidak dishalatkan, tidak mewarisi
dan diwarisi, tidak diberi nama, tidak dimandikan selama tidak berteriak atau
menangis. Karena bayi itu dianggap mati sebelum keluar dari rahim (Malik
bin Anas, al-Mudawwanah: 1/ 255).
Syafi'iyyah
Sedangkan mazhab Syafi'iyyah menyebutkan bahwa as-siqthu atau
janin yang keluar sudah dalam keadaan meninggal tetap sunnah diberi nama. Imam
an-Nawawi menyebutkan:
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَ أَصْحَابِنَا اسْتِحْبَابُ تَسْمِيَةِ
السَّقْطِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَقَتَادَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ
لَا يُسَمَّى مَا لَمْ يَسْتَهِلَّ صَارِخًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (المجموع شرح المهذب
(8/ 448)
Mazhab kita hukumnya sunnah memberi nama janin yang
keluar meski sudah meninggal. Ini adalah pendapat dari Ibnu Sirin, Qatadah,
al-Auza'i... (an-Nawawi, al-Majmu': 8/ 448).
Lantas bagaimana jika janin itu tak diketahui jenis
kelaminnya? Diberi nama laki-laki atau perempuan? Imam Ibnu Hajar al-Haitami
menyebutkan tetap diberi nama yang bisa untuk laki-laki dan perempuan. Seperti
Hamzah, Thalhah, Hindun, dll.
تُسَنُّ تَسْمِيَةُ سَقْطٍ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنْ لَمْ
يُعْلَمْ أَذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى سُمِّيَ بِمَا يَصْلُحُ لَهُمَا كَهِنْدٍ وَطَلْحَةَ.
(تحفة المحتاج في شرح المنهاج، 9/ 373)
Disunnahkan memberi nama as-siqthu yang telah ditiupkan
ruh meski keluar dari perut ibunya dalam keadaan meninggal. Meski tak diketahui
laki-laki atau perempuan. Diberi nama yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan
seperti Hamzah, Thalhah, Hindun. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat
al-Muhtaj, 9/ 373).
Meski dalam mazhab Syafi'iyyah, jika masih berupa segumpal
darah atau daging maka belum disebut as-siqthu. Maksudnya jika
masih berupa segumpal darah atau segumpal daging itu tak disunnahkan diberi
nama, meski juga tak dilarang. Sebagaimana pernyataan dari Imam an-Nawawi
al-Jawiy (w. 1316 H):
وَخرج بِالسقطِ الْعلقَة والمضغة لِأَنَّهُمَا لَا يسميان ولدا.
(نهاية الزين، محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني إقليما، التناري بلدا (المتوفى:
1316هـ) ص: 156)
Tidak disebut as-siqthu jika masih berupa segumpal darah
atau daging. Karena belum disebut sebagai anak manusia. (an-Nawawi
al-Jawiy, Nihayat az-Zain: 156).
Hanabilah
Mazhab Hanbali berpendapat sama dengan mazhab Syafiyyah,
sebagaimana perkataan dari Ibnu Qudamah:
(فصل) ويستحب أن يسمى السقط لأنه يروي عن النبي صلى الله
عليه وسلم أنه قال: "سموا أسقاطكم فإنهم أسلافكم" رواه ابن السماك باسناده
(الشرح الكبير على متن المقنع (2/ 337)
Pasal: Disunnahkan memberi nama as-siqthu atau bayi yang
lahir dalam keadaan meninggal. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: Berilah
nama as-siqthu kalian, karena mereka adalah orang yang telah mendahului
kalian. (Ibnu Qudamah, as-Syarh al-Kabir: 2/ 337).
Meski hadits yang dijadikan sandaran oleh Ibnu Qudamah ini
dianggap lemah. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikhnya.
Sebagaimana pernyataan dari Alauddin dalam kitabnya Kanzul Ummal: 16/ 423.
0 Komentar
Terima kasih Atas Tanggapan Penuh Makna Dari Anda.
Bantulah kami untuk mengembangkan layanan kami agar lebih menuju sempurna saran dan ide kreatif dari anda para pengejar ilmu. Dan marilah kita bagikan layanan ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan bijih ilmu . Satu kebaikan dari anda, bagaikan matahari penerang bagi mereka yang kesulitan mendapatkannya.