Dalam Ilmu Fiqih ada istilah yang sangat familiar
yakni 'al-Muwalah' yang berarti melakukan satu perbuatan atau lebih
dalam waktu yang bersamaan, dan menyelesaikannya tanpa dijeda dengan durasi
yang cukup lama. Sinonim dari al-Muwalah adalah al-Mutaba'ah.
Misalnya ketika seseorang melaksanakan wudhu dalam
satu waktu, ia menyelesaikan wudhu-nya dari niat hingga mencuci kaki tanpa
diselingi perbuatan lain. Disini, ia dikatakan telah melaksanakan wudhu dengan
'Muwalah' sebab melakukan semua rukun wudhu' tanpa dijeda dan diselingi dengan
perbuatan lain.
Sedangka jika ia berniat wudhu lalu membasuh
wajahnya, kemudian keluar kamar mandi menuju dapur untuk menyelesaikan
rutinitas masak-memasak, beberepa saat kemudian ia kembali lagi ke kamar mandi
untuk menyelesaikan wudhu'nya (membasuh tangan, kepala/rambut, dan kaki), maka
dalam wudhu'nya ini tidak ada unsur al-Muwalah.
Mandi Janabah adalah konsekwensi yang harus
dilakukan bagi mereka yang mengalami hadats besar, misalnya karena berhubungan
suami isteri, atau sebab usai dari haid dan nifas. Menurut mayoritas ulama,
rukun mandiri janabah hanya dua, yakni niat dan meratakan air pada seluruh
tubuh. Adapun selain rukun, mandi janabah punya ritual lain yang hukumnya
sunnah, seperti mencuci kemaluan sebelum mulai mengguyur air ke badan, berwudhu
dahulu, mendahulukan anggota kanan sebelum yang kiri, dan sebagainya.
Bolehkah Mencicil Mandi Janabah ?
Lazimnya, orang tidak akan menyudahi mandinya
sebelum seluruh tubuhnya basah dengan siraman air. Namun jika ada orang ingin
'mencicil' mandi janabahnya karena suatu hal, apakah dibolehkan? Misalnya,
malam hari mencuci kepala dan rambut, lalu shubuh menyempurkan mandi dengan
menyiram anggota tubuh yang lain
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian
mengatakan boleh, sebagian lagi tidak. Perbedaan ini didasari apakah al-muwalah
dalam mandi janabah itu hukumnya wajib, ataukah sunnah. Jika wajib, maka tidak
boleh mandi janabah sambil diselingi dengan hal yang lain dengan durasi yang
cukup lama. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa al-muwalah hukumnya sunnah,
maka boleh. Berikut pemaparan masing-masing:
a. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Sunnah.
Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah,
asy-Syafi'iah (qaul jadid) dan al-Hanabilah mengatakan bahwa al-muwalah dalam
mandi janabah hukumnya sunnah. Artinya, al-muwalah tidak menjadi parameter sah
dan tidaknya mandi janabah, sebab ia bukan termasuk rukunnya. Jika seseorang
mandi janabah misalnya, lalu niat dan membasahi sebagian tubuhnya, lalu keluar
kamar mandi dan melakukan hal lain, kemudian kembali ke kamar mandi dan
menyelesaikan siraman ke sisa tubuh yang lain, mandi janabahnya ini sah menurut
ulama dari madzhab ini.
Al-Imam As-Sarakhsi (w.483), salah satu ulama dari
madzhab Al-Hanafiyah dalam kitabnya Al-Mabsuth mengatakan :
وإن غسل بعض أعضائه، وترك
البعض حتى جف ما قد غسل أجزأه؛ لأن الموالاة سنة عندنا
Ibnu 'Abdin (w.1252) yang juga ulama dari madzhab
Al-Hanafiyyah mengatakan :
سنن الغسل : (قوله: كسنن
الوضوء) أي من البداءة بالنية والتسمية والسواك والتخليل والدلك والولاء
"Sunnah-sunnah mandi janabah sama dengan
sunnah-sunnah di dalam wudhu', yakni dari awal dimulai dari niat, basmalah,
bersiwak, dan menyela-nyelai, memijat, dan muwalah".[2]
Ibnu Najim dari madzhab Al-Hanafiyah sedikit
menyempitkan bolehnya menjeda mandi janabah. Beliau mengatakan bahwa 'mencicil'
mandi janabah hukumnya boleh jika ada udzur (alasan yang dibenarkan syariat).
Misalnya karena minimnya ketersediaan air dimana airnya tidak cukup digunakan
untuk mandi, lalu ia pergi mencari-cari air beberapa saat, lalu melanjutkan
mandinya yang tadi belum selesai.[3]
Al-Imam An-Nawawi (w.676), ulama dari madzhab
As-Syafi'iyyah menguatkan pendapat ulama dari madzhab Al-Hanafiyah bahwa
al-muwalah dalam mandi janabah hukumnya sunnah, sebagaimana yang beliau tulis
dalam Al-Majmu' :
وأما موالاة الغسل فالمذهب
أنها سنة
"Dan adapun muwalah dalam mandi janabah
menurut madzhab ini (As-Syafi'i) hukumnya sunnah."[4]
Begitu juga ulama dari madzhab Hambali, mereka
memiliki pendapat yang sama. Al-Imam Al-Mardawi (w.885) dari madzhab
Al-Hanabilah mengatakan:
لا يشترط للغسل موالاة، على
الصحيح من المذهب
"Muwalah tidak disyaratkan dalam mandi
janabah menurut madzhab ini (Al-Hanabilah)."[5]
Ibnu Qudamah yang juga dari madzhab Al-Hanabilah
menambahkan bahwa al-muwalah tidak masuk dalam rukun mandi janabah :
فعلى هذا تكون واجبات الغسل
شيئين لا غير : النية، وغسل جميع البدن
"Dan oleh karena itu, hal-hal yang wajib
dilakukan saat mandi janabah hanya dua saja, yakni : niat dan membasuh/menyiram
seluruh tubuh"[6]
Ulama dari madzhab Al-Hanabilah dan salah satu
pendapat dari madzhab Syafi'i mengatakan bahwa mandi janabah yang terpotong
(dijeda oleh hal lain) hukumnya sah, asalkan ketika kembali menyelesaikan
mandinya ia wajib memperbarui niat sebelum menyiramkan air pada sisa anggota
tubuh lainnya. Sebab niatnya di awal terpotong dengan jeda waktu yang cukup
lama.[7]
Akan tetapi sebagian ulama lain dari madzhab
as-Syafi'iyah tidak mewajibkan untuk memperbarui niat saat ia kembali
menyelesaikan siraman pada sisa anggota tubuh yang lain.[8]
b. Al-Muwalah Dalam Mandi Janabah Hukumnya Wajib
Ulama dari madzhab al-Malikiyyah mengatakan bahwa
al-muwalah hukumnya fardhu dalam mandi janabah. Dalam melakukan mandi janabah,
seseorang harus menyelesaikan mandinya dalam satu waktu, tanpa harus
disela-selai atau dipotong dengan hal yang lain.
Al-Qarafi (w.684), salah satu ulama dari madzhab
ini mempertegas dalam kitabnya Adz-Dzakhirah :
لخامس : الموالاة فرض في الوضوء والغسل خلافا لأحمد بن حنبل
"(Rukun) kelima ; al-muwalah hukumnya fardhu dalam
wudhu dan mandi janabah, pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad Bin
Hambal."[9]
Ad-Dasuki dari madzhab ini mengatakan bahwa
kedudukan al-muwalah dalam mandi janabah adalah wajib, selama ia tidak lupa dan
tidak ada udzur. Maka, jika di tengah-tengah mandi janabah ia melakukan
perbuatan lain dengan durasi yang cukup lama, kemudian ia melanjutkan mandinya,
maka mandi janabahnya tidak sah. Akan tetapi, bagi yang punya udzur syar'i
seperti ketersediaan air yang sangat minim, atau udzur syar'i lain, maka ia
boleh menjeda mandi janabahnya tanpa harus memperbarui niat saat melanjutkan
mandi dan menyiram pada sisa angota tubuh lainnya.[10]
Kesimpulan
Mayoritas ulama dari madzhab al-Hanafiyah,
asy-Syafi'iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa al-muwalah hukumnya sunnah
dalam mandi janabah, bukan rukun yang wajib dilakukan. Akan tetapi ulama dari
madzhab al-Malikiyah mengatakan bahwa al-muwalah fardhu yang wajib dilakukan.
Pendapat mayoritas ulama menjadi angin segar bagi
para pengantin baru yang notabene malu jika rambutnya terlihat basah di pagi
hari. Terlebih jika masih tinggal di rumah mertuanya. Kedudukan al-muwalah yang
sunnah, memberi keringanan bagi mereka untuk 'mencicil' mandi janabah.
Misalnya, jika di malam hari ia melakukan hubungan
suami isteri dan enggan segera mandi karena udara masih terlalu dingin.
Solusinya, bisa saja malam hari membasahi kepala (keramas) dulu tanpa menyiram
badan, lalu esok saat hendak melaksanakan shalat shubuh, ia melanjutkan mandi
dengan menyiram tubuh tanpa keramas.
Contoh di atas menjadi mandi janabah yang sah walaupun terkesan 'dicicil'
karena mandinya tidak dilakukan dalam satu waktu sekaligus. Dengan syarat, saat
keramas di malam hari ia harus meniatkannya untuk mandi janabah.
Wallahu A'lam Bishshowab.
[1] Al-Mabsuth jilid 1, hal. 58
[2] Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar,
jilid 1, hal. 156
[3] (al-Bahru ar-Raiq jilid 1, hal. 28
[4] Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 2,
hal. 184
[5] Al-Inshaf Fi Ma'rifati ar-Rajih Min
al-Khilaf jilid 1, hal. 141
[6] Al-Mughni, jilid 1, hal. 162
[7] Raudhah at-Thalibin, jilid 1, hal. 64
[8] Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, jilid1 ,
hal. 453
[9] Adz-Dzakhirah, jilid 1, hal. 273
[10] Hasyiyah ad-Dasuki, jilid 1, hal. 133
0 Komentar
Terima kasih Atas Tanggapan Penuh Makna Dari Anda.
Bantulah kami untuk mengembangkan layanan kami agar lebih menuju sempurna saran dan ide kreatif dari anda para pengejar ilmu. Dan marilah kita bagikan layanan ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan bijih ilmu . Satu kebaikan dari anda, bagaikan matahari penerang bagi mereka yang kesulitan mendapatkannya.