Khitan bagi anak perempuan tidak semasyhur khitan yang
dilakukan pada anak laki-laki. Jika khitan pada anak laki-laki adalah menyunnat
kulup dari batang dzakar (penis), maka tindakan khitan pada anak perempuan
adalah menyunnat bagian 'clitoral hood'.
Menurut Wikipedia: "Clitoral Hood atau disebut
juga preputium clitoridis and clitoral prepuce adalah
lipatan kulit yang mengelilingi dan melindungi clitoral glans [batang
klitoris]. Berkembang sebagai bagian dari labia [bibir]minora dan
merupakan homolog dari kulup penis [biasa disebut preputium]
pada kelamin laki-laki".
Dalil yang menjadi dasar pensyariatan khitan adalah
sebagai berikut:
- Kemudian
kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus (QS.
An-Nahl: 23).
- Dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW, "Khitan itu sunnah buat laki-laki
dan memuliakan buat wanita." (HR. Ahmad dan
Baihaqi)
- Dari
Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nabi Ibrahim as.
Berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur / kapak. (HR
Bukhari dan muslim)
- Dari
Aisyah ra, Rasulullah bersabda : “Potonglah rambut kufur darimu dan
berkhitanlah” (HR. Muslim)
Dari dalil-dalil diatas, khitan bagi anak perempuan
jelas disyariatkan. Namun jika ditinjau dari hukumnya, para ulama fiqih berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang
itu pemuliaan atas perempuan.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Madzhab ini sepakat bahwa berkhitan tidak diwajibkan
bagi perempuan, mayoritas ulama dari madzhab ini tidak memandangnya dari
kacamata hukum taklifi, namun sebagai kemuliaan bagi perempuan.
Ibnul Humam (w. 681 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul
Qadir menuliskan sebagai berikut :
الختانان
موضع القطع من الذّكر والفرج وهو سنّةٌ للرّجل مكرمةٌ لها
Khitan itu memotong sebagian dari zakar
(kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi
laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah kemuliaan.
Az-Zaila’i (w. 743 H) salah
satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin
Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :
وختان
المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع
Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi
sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat menambah keintiman dalam
berhubungan suami istri.[1]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Al-Qarafi (684 H), salah satu ulama di kalangan
mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai
berikut :
كرهه مالك يوم الولادة ويوم السابع لأنه من فعل اليهود قال وحد الختان الأمر بالصلاة من سبع سنين إلى عشر قال ابن حبيب الختان سنة للرجال مكرمة للنساء
Makruh bagi imam Malik mengkhitan anak
pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena itu perbuatannya orang-orang
Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak berumur 7 tahun, sebagaimana
diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu
Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan
merupakan kemuliaan.[2]
Al-Hathab Ar-Ru'aini (954
H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan
dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai
berikut :
وأما
الخفاض فقال ابن عرفة والخفاض في النساء الرسالة مكرمة وروى
Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah
mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia.[3]
3. Mazhab Asy-Syafi’i
Madzhab ini memandang bahwa berkhitan bagi
laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:
An-Nawawi (w.
676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam
kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan
sebagai berikut :
ويجب
ختان المرأة بجزء من اللحمة بأعلى الفرج والرجل بقطع ما يغطي حشفته بعد البلوغ ويندب
تعجيله في سابعة
Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan
memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki
dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan
disunnahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.[4]
Zakaria Al-Anshari (w.
926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal
Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.
(و) من (قطع شيءٍ من بظر المرأة) (الخفاض) أي اللّحمة الّتي في أعلى الفرج فوق مخرج البول تشبه عرف الدّيك، وتقليله أفضل
Dengan memotong sebagian daging kecil
-yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat keluarnya urin, dan
bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal (utama).[5]
Ibnu Hajar Al-Haitami (w.
974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhafatu
Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :
ويجب أيضًا (ختان) المرأة والرّجل
Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan
dan laki-laki .[6]
Al-Khatib Asy-Syirbini (w.
977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni
Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :
(ويجب ختان المرأة بجزءٍ) أي قطعه
Diwajibkan berkhitan bagi perempuan,
dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya.[7]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Adapun madzhab Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan
antara laki-laki dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi
perempuan.
Ibnu Qudamah (w.
620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan
sebagai berikut :
فأمّا الختان فواجبٌ على الرّجال، ومكرمةٌ في حقّ النّساء،
وليس بواجبٍ عليهنّ
Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan,
sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan
bagi yang mengerjakannya.[8]
Kesimpulan
Demikian pemaparan para ulama dari empat madzhab. Madzhab Syafi’i mengatakan
bahwa hukum khitan itu wajib atas laki-laki maupun perempuan. Sedangkan madzhab
Hanafi, Maliki dan Hambali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi
hukum taklifi, melainkan dari sisi afdhaliyyah (keutamaan). Ketiga madzhab
tersebut mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan
tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.
Wallahu a’lam bishshawab
[1] Az-Zaila'i,
Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 1, hal 227
[2] Al-Qarafi,
Adz-Dzakhirah, jilid 4, hal 167
[3] Al-Hathab
Ar-Ru'aini, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, jilid 3, hal 258
[4] An-Nawawi,
Minhajut Thalibin Wa Umdatul Muftiin, jilid 1, hal 306
[5] Zakaria
Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib, jilid 4, hal 164
[6] Al-Haitami,
Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj, jilid 9, hal 198
[7] Al-Khatib
Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 5, hal 539
[8] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, jilid 1, hal 64
0 Komentar
Terima kasih Atas Tanggapan Penuh Makna Dari Anda.
Bantulah kami untuk mengembangkan layanan kami agar lebih menuju sempurna saran dan ide kreatif dari anda para pengejar ilmu. Dan marilah kita bagikan layanan ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan bijih ilmu . Satu kebaikan dari anda, bagaikan matahari penerang bagi mereka yang kesulitan mendapatkannya.