Pertanyaan ini hampir selalu ditanyakan. Dan jawaban setiap ustadz,
hampir semua berbeda. Mengapa? Sebab dalam hal ini, para ulama fiqih lintas
madzhab memang berbeda pendapat.
Akar perbedaannya ada pada berbedanya ulama dari empat madzhab dalam
menarik kesimpulan hukum dari QS. Al-Maidah ayat 6, yang bunyinya:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا
“...atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...”
Secara harfiyah, ayat tersebut menyatakan bahwa menyentuh wanita
menyebabkan batalnya wudhu’ sehingga ia diperintahkan mencari air untuk
berwudhu’ kembali, dan jika tidak menemukan air maka diperintahkan untuk
bertayammum.
Akan tetapi, ayat diatas tidak menjelaskan secara terperinci mengenai:
- Wanita
manakah yang jika disentuh menjadikan wudhu’ seseorang menjadi batal?
Wanita yang menjadi mahramnya atau bukan? Wanita yang sudah baligh ataukah
yang belum?
- Siapakah
yang jika menyentuh wanita bisa membatalkan wudhu? Apakah semua gender,
ataukah terbatas lelaki saja?
- Manakah
anggota tubuh wanita yang membuat penyentuhnya jadi batal wudhu’nya?
Kulitnya saja ataukah gigi dan rambutnya juga?
Hal-hal tersebut membuat para ulama menarik kesimpulan berbeda dari QS.
Al-Maidah ayat 6 diatas. Tentu dengan metode istimbath ahkam yang
dimiliki oleh masing-masing madzhab. Berikut penjelasannya:
- Batal
Secara Mutlak
Para ulama fiqih dari madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit
secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dapat
membatalkan wudhu’ jika sentuhan itu tidak dihalangi oleh apapun seperti kain,
kertas, atau lainnya.
Parameter utama dalam madzhab Syafi’i adalah “mujarrad iltiqa’
al-basyaratain”. Artinya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan
wanita dapat membatalkan wudhu’ walau tanpa syahwat, sengaja atau tidak
sengaja.
Wanita yang menjadikan laki-laki batal wudhu’ saat menyentuhnya adalah
‘musytahah’, yakni wanita yang lazimnya memiliki peluang untuk membuat
laki-laki tertarik kepadanya. Ciri-cirinya antara lain : wanita yang sudah
baligh dan bukan mahramnya sendiri.
Isteri bukanlah mahram bagi suaminya. Maka dalam madzhab ini sentuhan
kulit antara suami-isteri membatalkan wudhu. Sengaja atau tidak sengaja. Dengan
atau tanpa syahwat. Menjadi pihak yang menyentuh, ataupun yang disentuh.[1]
Dalam kitab Raudhah at-Thalibin Bab Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu’,
Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
الناقض الثالث: لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا،
أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح.
وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو
عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض
على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على الأظهر.
Pembatal (wudhu’) yang ketiga adalah menyentuh wanita musytahah. Jika ia
menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak
mengundang syahwat maka wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam
madzhab ini (Syafi’i). Begitu juga menyentuh mahram, baik mahram karena nasab,
sepersusuan atau mushaharah, maka wudhu’nya tidak batal. Adapun jika ia
menyentuh wanita yang sudah meninggal atau wanita tua yang sudah tidak
mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang organ
tambahan, atau ia sentuhan tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya
batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab, begitu juga batalnya wudhu
orang yang disentuh.
- Tidak
Batal Secara Mutlak.
Berbeda dengan madzhab Syafi’i, para ulama dalam madzhab Hanafi
cenderung memaknai kalimat “لاَمَسْتُمُ النِّسَاء” dengan makna majazi,
yakni jima’ atau hubungan seksual.
Dalam madzhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sentuhan
kulit antara laki-laki dan wanita non-mahram (termasuk isterinya) tidaklah
membatalkan wudhu secara mutlak, walaupun sentuhan itu dilakukan dengan
syahwat. Sebab yang menjadi patokan batalnya wudhu dalam hal ini adalah
terjadinya jima’. Maka, sentuhan yang tidak sampai pada taraf hubungan seksual
tidak membatalkan wudhu’.[2]
Namun ulama dalam madzhab Hanafi berbeda pendapat mengenai percumbuan
antara laki-laki dan wanita dengan tanpa busana, yang menjadikan hampir seluruh
tubuh mereka saling bersentuhan dengan syahwat. Tidak terjadi penetrasi, juga
tidak sampai keluar air mani.
Abu Hanifah dan Yusuf memandangnya dengan kacamata istihsan yang
menjadikan keduanya berhadats, sehingga otomatis membatalkan wudhu’. Berbeda
dengan Muhammad Bin Hasan as-Syaibani yang menghukuminya dengan qiyas,
perbuatan tersebut tidak membatalkan wudhu’ sebab tidak sampai terjadi
penetrasi atau jima’ yang sesunguhnya.[3]
Dalam kitab Fathul Qadir, Ibnul Humam menjelaskan sebagai
berikut :
ولا يجب من مجرد مسها ولو بشهوة ولو فرجها، خلافا
للشافعي مطلقا، ولمالك إذا مس بشهوة. لنا في الأولى عدم دليل النقض بشهوة وبغير
شهوة فيبقى الانتقاض على العدم، وقوله تعالى {أو لامستم النساء} مراد به الجماع
وهو مذهب جماعة من الصحابة
Tidak wajib berwudhu karena menyentuh wanita, sekalipun dengan adanya
syahwat, sekalipun pada kemaluannya. Pendapat ini berbeda dengan Imam Syafi’i
yang mengatakn bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu secara mutlaq, dan Imam
Malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dnegan syahwat mewajibkan wudhu.
Bagi kami (madzhab Hanafi) tidak ada dalil yang menegaskan bahwa menyentuh
wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak. Adapun yang
dimaksud dalam firman Allah: {أو لامستم النساء} adalah Jima’, dan ini adalah
pendapat sebagian sahabat Rasulullah.
- Batal
Jika Disertai Syahwat
Ulama dari madzhab Maliki dan Hambali sepakat bahwa yang membatalkan
wudhu’ adalah sentuhan yang disertai syahwat. Maka, sekedar menyentuh saja
tidak membatalkan wudhu’ jika tidak disertai adanya syahwat.
Akan tetapi ada beberapa perbedaan mendasar antara madzhab Maliki dan
Hambali dalam masalah ini sebagaimana berikut:
a. Madzhab Maliki
Dari segi pelaku dan objeknya, madzhab ini mengatakan bahwa yang
membatalkan wudhu adalah sentuhan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah
baligh terhadap orang lain sambil menikmati sentuhan tersebut, baik pihak yang
disentuh itu:
- sudah
baligh atau belum baligh,
- isterinya
atau bukan,
- mahramnya
sendiri atau bukan,
- sesama
jenis atau lawan jenis,
- langsung
pada kulitnya atau dengan adanya penghalang (kain) yang tipis.
Semuanya membatalkan wudhu’ jika sentuhan yang dilakukan itu disertai
adanya syahwat. Maka, dalam madzhab ini, laki-laki yang menyentuh sesama
laki-laki dapat membatalkan wudhu jika sentuhan itu disertai dengan syahwat.
Begitu juga jika itu terjadi antara wanita dengan sesama wanita.
Dari segi organ tubuh yang disentuh, madzhab ini tidak membedakan antara
kulit atau bukan. Maka, menyentuh organ tubuh manapun jika disertai syahwat
dapat membatalkan wudhu’, bahkan jika yang disentuh adalah kuku dan giginya.[4]
Dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah, Ibnu
Abdil Barr menjelaskan sebagai berikut :
الملامسة، وهي ما دون الجماع من دواعي الجماع فمن قبل
امرأة لشهوة كانت من ذوات محارمه أو غيرهن وجب عليه الوضوء التذ أم لم يلتذ. ومن
قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من فوق الثوب الرقيق
الخفيف أو من تحته وسواء مس منها عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك
منها.
Mulamasah adalah salah satu bentuk percumbuan yang dilakukan suami
isteri tetapi tidak sampai kepada Jima’. Orang yang mencium perempuan disertai
syahwat baik itu mahramnya ataupun bukan maka ia wajib berwudhu, baik ia
menikmatinya atau tidak. Seseorang yang bermaksud menyentuh perempuan, kemudian
ia menyentuhnya dengan tangannya maka wudhunya batal jika sentuhan itu disertai
taladzdzudz (kenikmatan), baik sentuhan itu dilakukan di atas pakaian yang
tipis (adanya penghalang tipis) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang
ia sentuh itu -menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh
wanita tersebut jika disertai taladzdzudz.
Penjelasan senada diungkapkan oleh al-Qarafi dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagaimana
berikut :
الملامسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من
تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء
Mulamasah adalah saling menyentuh antara suami dan isteri yang disertai
ladzdzah (menikmati), baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari
bawahnya (secara langsung), atau ciuman pada selain mulut, maka hal tersebut
mewajibkan wudhu.
b. Madzhab Hambali
Ketentuan sentuhan yang membatalkan wudhu dalam madzhab Hambali adalah
jika yang disentuh dengan syahwat itu adalah:
- lawan
jenis,
- bukan
mahramnya, baik itu isterinya atau bukan,
- sudah
baligh,
- langsung
pada kulitnya tanpa ada penghalang sama sekali,
Maka dalam madzhab Hambali, objek yang disentuh harusnya kulit lawan
jenis non mahram (termasuk isteri) tepat pada kulitnya langsung. Sebab
menyentuh gigi atau rambut tidak membatalkan wudhu’.[5]
Pendapat madzhab Hambali sebenarnya sangat mirip dengan madzhab
Syafii’i, hanya saja madzhab Hambali mensyaratkan adanya syahwat sedangkan
madzhab Syafi’i tidak.
Dalam kitabnya Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan sebagai
berikut:
المشهور من مذهب أحمد - رحمه الله -، أن لمس النساء
لشهوة ينقض الوضوء، ولا ينقضه لغير شهوة. وعن أحمد رواية ثانية، لا ينقض اللمس
بحال. وعن أحمد، رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال. ولنا، عموم النص، واللمس
الناقض تعتبر فيه الشهوة، ومتى وجدت الشهوة فلا فرق بين الجميع. ولا ينقض مس شعر
المرأة، ولا ظفرها، ولا سنها، وهذا ظاهر مذهب الشافعي. لنا، أنه لم يلمس جسم
المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها
Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad Bin Hambal Rahimahullah
bahwa menyentuh wanita yang disertai syahwat membatalkan wudhu, namun tidak
membatalkan wudhu jika tanpa syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa
menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga
bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan menurut pendapat
yang kami pilih (mayoritas ulama madzhab Hambali) adalah keumuman nash, dan
sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang disertai syahwat, jika sentuhan
terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada perbedaan antara mahram dan
wanita ajnabiyah (non-mahram), wanita dewasa ataupun anak kecil. Dalam dzahir
madzhab Syafi’i, menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak
membatalkan wudhu. Dan bagi kami (madzhab Hambali) hal demikian (menyentuh gigi
dan kuku) tidak diaggap menyentuh tubuh wanita, sebagaimana menyentuh
pakaiannya.
Ibnu Taimiyyah menuliskan dalam kitabnya Majmu' Fatawa sebagai
berikut :
المشهور عن أحمد -: أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإلا
فلا
Pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad Bin Hambal bahwa menyentuh wanita
jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat
maka tidak membatalkan.
Penutup
Demikian pendapat masing-masing madzhab yang cenderung berbeda satu sama
lain. Namun tidak untuk dijadikan ajang perselisihan di kalangan umat
Islam. Sebab tiap pendapat para ulama madzhab tentu melalui proses 'istimbath
ahkam' dengan metode Ushul Fiqh yang sudah dirumuskan oleh para
mujtahid yang kompeten di bidangnya.
Wallahu A’lam Bishshswab.
0 Komentar
Terima kasih Atas Tanggapan Penuh Makna Dari Anda.
Bantulah kami untuk mengembangkan layanan kami agar lebih menuju sempurna saran dan ide kreatif dari anda para pengejar ilmu. Dan marilah kita bagikan layanan ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan bijih ilmu . Satu kebaikan dari anda, bagaikan matahari penerang bagi mereka yang kesulitan mendapatkannya.