Jika seorang laki-laki ahli menikahi wanita muslimah, maka
sudah tak diragukan lagi keharamannya. Ulama sepakat bahwa wanita muslimah
tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir dalam segala variannya, baik ahli
kitab maupun non ahli kitab.
Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
{وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا} [البقرة: 221]
Dan kalian jangan menikahkan laki-laki musyrik sampai mereka
beriman.
Meskipun ayat ini turun tentang larangan menikahkan anak
perempuan muslimah kepada laki-laki musyrik, tetapi keharaman juga kepada
laki-laki ahli kitab. Ini adalah kesepakatan para ulama.[1]
Permasalahannya adalah jika seorang laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab, bagaimana hukumnya?
a. Perbedaan Pendapat Ulama
Para fuqaha dari berbagai mazhab – di antaranya adalah
mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad –
telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan
Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nashrani.[2]
Hal itu sesuai firman Allah SWT :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al
muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al
muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al
Maa`idah [5] : 5).
Dalam kalangan Hanafiyyah, as-Syarakhsi (w. 483 H) dalam
kitabnya al-Mabsuth menjelaskan:
(قَالَ): وَلَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَزَوَّجَ
الْمُسْلِمُ الْحُرَّةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ... سَوَاءٌ إسْرَائِيلِيَّةً
كَانَتْ أَوْ غَيْرَ إسْرَائِيلِيَّةٍ[3]
Tidak apa-apa seorang laki-laki muslim yang merderka
menikahi wanita ahli kitab... baik dari Bani Israil maupun tidak itu sama saja.
Dalam mazhab Maliki, menikahi wanita ahli kitab yang merdeka
atau bukan budak itu boleh dengan status makruh. Sebagaimana pernyataan dari
al-Qarafi (w. 684 H):
الْكفَّار ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ
الْكِتَابِيُّونَ يَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ وَضَرْبُ الْجِزْيَةِ عَلَيْهِمْ
وَإِنْ كَرِهَهُ فِي الْكِتَابِ لِسُوءِ تَرْبِيَةِ الْوَلَدِ[4]
Orang kafir itu ada 3 jenis; pertama adalah kitabiyyun.
Mereka halal dinikahi wanitanya dan diminta pajak, meskipun menikahi wanita
ahli kitab itu makruh, karena jelek dalam pendidikan anaknya.
Dalam mazhab Syafi’i, menikahi wanita ahli kitab itu boleh
dengan status makruh, baik harbiy (memerangi umat Islam) maupun dzimmiy
(dijamin keamanannya oleh umat Islam). Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyatakan:
يحرم نكاح من لا كتاب لها كوثنية
ومجوسية. وتحل كتابية لكن تكره حربية وكذا ذمية على الصحيح[5]
Haram menikahi wanita yang tak punya kitab (samawi) seperti
watsaniyyah dan majusiyyah. Sedangkan wanita ahli kitab itu halal dinikahi
tetapi makruh, baik wanita harbiy, maupun dzimmiy menurut pendapat yang shahih.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam mazhab Hanbali menyebutkan:
مَسْأَلَةٌ؛ قَالَ: (وَحَرَائِرُ
نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ وَذَبَائِحُهُمْ حَلَالٌ لِلْمُسْلِمِينَ) لَيْسَ بَيْنَ
أَهْلِ الْعِلْمِ، بِحَمْدِ اللَّهِ، اخْتِلَافٌ فِي حِلِّ حَرَائِرِ نِسَاءِ
أَهْلِ الْكِتَابِ[6]
Wanita yang merdeka dari ahli kitab dan sembelihan mereka
itu halal untuk kaum muslimin, diantara para ahli ilmu tak ada perbedaan dalam
hal ini.
b. Syarat Ahli Kitab Versi Imam Syafi'i
Hanya saja, meskipun Imam Syafi’i –rahimahullah– termasuk
yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau
membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah
perempuan Bani Israil.
Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan
Arab tapi menganut Yahudi atau Nashrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab
sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.[7]
Imam Syafii (w. 204 H) sendiri menyebutkan:
فَلَمْ يَجُزْ وَاَللَّهُ تَعَالَى
أَعْلَمُ أَنْ يَنْكِحَ نِسَاءَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ غَيْرَ بَنِي
إسْرَائِيلَ دَانَ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى بِحَالٍ... فَمَنْ كَانَ مِنْ
بَنِي إسْرَائِيلَ يَدِينُ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى نُكِحَ نِسَاؤُهُ
وَأُكِلَتْ ذَبِيحَتُهُ
Allah tidak memperbolehkan (Allah yang Maha Tahu) seseorang
muslim menikahi wanita ahli kitab dari Arab maupun Ajam kecuali dari Bani
Israil yang beragama yahudi dan nashrani... Siapa yang berasal dari Bani Israil
dan beragama yahudi maupun nashrani, maka perempuannya boleh dinikahi dan
sembelihannya halal dimakan.
Pendapat Imam Syafi’i tersebut kemudian dijelaskan lebih
lanjut oleh para ulama madzhab Syafi’i seperti Imam Al-Khathib Asy-Syirbini
dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’
(2/44).
Dikatakan, bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan
Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang
Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani,
kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).
Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani
Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau
Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya
sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika
mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka.[8]
Meski para ulama lain selain Syafiiyyah me-rajih-kan
kemuthlakan ahli kitab, baik dari Bani Israil maupun selainnya. Maksudnya ulama
lain selain Imam as-Syafi'i berpandangan bahwa siapapun mereka, dari Bani
Israil atau tidak, asalkan beragama seperti ahli kitab yaitu yahudi dan
nashrani, maka termasuk ahli kitab yang wanitanya halal dinikahi. Alasannya:
Pertama, karena dalil-dalil yang ada dalam masalah ini
adalah dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dengan
suatu syarat tertentu.
Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi
Kitabiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus
dari kalangan Bani Israil. Firman Allah ﷻ
:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
”(Dan dihalalkan menikahi)
wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).
Ayat di atas mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan
muhshanat yang diberi al-Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama
sekali bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil.
Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan:
المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل
يدل على التقييد[9]
Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak
terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan).
Kemutlakan dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah
Zuhaili menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafi’i. Syaikh
Wahbah Zuhaili berkata:[10]
والراجح لدي هو قول الجمهور، لإطلاق
الأدلة القاضية بجواز الزواج بالكتابيات، دون تقييد بشيء
“Pendapat yang rajih bagi saya
adalah pendapat jumhur, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan
bolehnya wanita-wanita Ahli Kitab, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan
sesuatu (syarat).”
Kedua, karena tindakan Rasulullah shallaallahu alalihi wa
sallam dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar
jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan
Ahli Kitab adalah agamanya, bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang
mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/ Nashrani kitabnya masih asli
ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil).
Ketiga, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun untuk pertama kalinya
dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, sudah
menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka. Padahal mereka
pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli mereka, bukan orang-orang yang
masih menjalankan kitabnya yang murni/asli. Misalnya firman Allah SWT :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ
عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيلَ وَمَا أُنزِلَ
إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Katakanlah [Muhammad],’Wahai
Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Qur`an yang diturunkan kepadamu [Muhammad]
dari Tuhanmu.” (QS Al Maa`idah: 68).
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan
Nashrani pada zaman Nabi SAW tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan
Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian, mereka tetap disebut
“Ahli Kitab” di dalam Al-Qur`an. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Al-Qur`an
banyak.
c. Shahabat Nabi Menikahi Wanita Ahli Kitab
Para shahabat Nabi dahulu ada beberapa yang menikahi wanita
Yahudi dan Nashrani. Diantaranya Jabir bin Abdullah dan Saad bin Abi Waqqash
ketika penaklukan Kufah. Bahkan Utsman bin Affan juga menikahi Nailah, yang
ketika menikah Nailah masih beragama Nashrani, lantas dia beriman dan masuk
Islam di tangan Utsman. Shahabat Nabi lain yang menikahi wanita Yahudi adalah
Thalhah bin Ubaidillah ketika di Syam, Ka’ab bin Malik menikahi wanita Yahudi,
Jarud bin Mualla, Salman al-Farisi, Udzainah al-Abdi.[11]
Hudzaifah al-Yamani pernah ditegur oleh Umar bin al-Khattab
karena menikahi wanita Yahudi. Umar memerintahkan untuk menceraikannya. Tetapi
Hudzaifah menjawab: “Jika memang haram, Saya akan ceraikan”. Dalam kitab
as-Sunan al-Kubra disebutkan sebagai berikut:
قَالَ: وَثَنَا سُفْيَانُ، ثنا
الصَّلْتُ بْنُ بَهْرَامَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ يَقُولُ: تَزَوَّجَ
حُذَيْفَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَهُودِيَّةً، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ أَنْ يُفَارِقَهَا، فَقَالَ: "إِنِّي أَخْشَى أَنْ تَدَعُوا
الْمُسْلِمَاتِ وَتَنْكِحُوا الْمُومِسَاتِ" وَهَذَا مِنْ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ عَلَى طَرِيقِ التَّنْزِيهِ وَالْكَرَاهَةِ، فَفِي رِوَايَةٍ أُخْرَى
أَنَّ حُذَيْفَةَ كَتَبَ إِلَيْهِ أَحَرَامٌ هِيَ؟ قَالَ: لَا وَلَكِنِّي أَخَافُ
أَنْ تُعَاطُوا الْمُومِسَاتِ مِنْهُنَّ[12]
Abu Wail berkata: Hudzaifah pernah menikahi wanita yahudi.
Lantas Umar mengirimkan surat kepadanya untuk menceraikannya. Umar berkata:
Saya khawatir orang-orang akan meninggalkan wanita muslimah malah menikahi
wanita ahli kitab. Umar melarang dalam rangka makruh. Dalam riwayat lain
disebutkan, Hudzaifah menjawab: Apakah haram? Umar berkata: Tidak, tetapi Saya
khawatir kalian akan mendapatkan wanita yang jelek dari mereka.
d. Menikahi Wanita Ahli Kitab di Indonesia
Meski di Indonesia, MUI mengeluarkan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22 Jumadil Akhir
1426H. / 26-29 Juli 2005 M, yang isinya:
1.
Perkawinan beda agama
adalah haram dan tidak sah.
2.
Perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Pada Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa
perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua
orang saksi dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU 1/1974 tidak mengenal perkawinan beda
agama, sehingga perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan.
Adapun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20
Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar-agama adalah bahwa perkawinan antar-agama dapat diterima permohonannya di
Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk
melangsungkan permohonan perkawinan beda agama.
Dalam proses perkawinan antar-agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar-agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan
Sipil.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat
dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama
tersebut di luar negeri.
Berdasarkan pada Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur perkawinan
di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan
perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia,
paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya,
perkawinan antar-agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda
agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.[13]
e. Fatwa Bisa Berbeda Karena Keaadan Berbeda
Beberapa ulama dahulu malah ada yang mensunnahkan menikahi
wanita ahli kitab, dengan catatan jika wanita ahli kitab itu diharapkan masuk
Islam. Imam al-Khatib as-Syirbini (w.
977 H) menyebutkan pendapat dari Imam az-Zarkasyi:
قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: وَقَدْ يُقَالُ
بِاسْتِحْبَابِ نِكَاحِهَا إذَا رُجِيَ إسْلَامُهَا... وَقَدْ ذَكَرَ الْقَفَّالُ
أَنَّ الْحِكْمَةَ فِي إبَاحَةِ الْكِتَابِيَّةِ مَا يُرْجَى مِنْ مَيْلِهَا إلَى
دِينِ زَوْجِهَا فَإِنَّ الْغَالِبَ عَلَى النِّسَاءِ الْمَيْلُ إلَى
أَزْوَاجِهِنَّ وَإِيثَارِهِنَّ عَلَى الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ مغني المحتاج إلى
معرفة معاني ألفاظ المنهاج[14] (4/ 312)
Zarkasyi berkata: kadang menikahi wanita ahli kitab itu
mustabab, jika diharapkan akan masuk agama Islam... al-Qaffal menyebutkan bahwa
hikmah dari kebolehan menikahi wanita kitabiyyah adalah diharapkan masuk ke
agama suaminya. Karena biasanya perempuan itu cenderung kepada agama suami
mereka, dan keluarga istri baik bapak ataupun ibu juga bisa ikut.
Meski hari ini, menikahi wanita ahli kitab malah terdapat
bahaya yang cukup banyak, baik sosial, agama dan negara. Antara lain :
1.
Tidak menutup kemungkinan
mereka akan membocorkan rahasia ummat islam ke negara asalnya.
2.
Terdapat kemungkinan
anak-anak akan terpengaruh oleh akidah mereka dan adat-adat non-muslim.
3.
Menyebabkan madharat bagi
para muslimat. Karena jika banyak laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab
akan banyak muslimah yang tersia-siakan karena sedikit yang menikahi mereka.
4.
Terkadang banyak dari para
wanita ahli kitab yang akhlaqnya menyimpang, contohnya: surat Umar kepada
Hudzaifah agar menceraikan istri dari ahli kitab. Meskipun alasannya bukan
karena hal tersebut diharamkan tetapi khawatir wanita tadi memiliki perangai
buruk (bukan wanita baik-baik). Dalam riwayat lain juga disebutkan jika alasan
Umar memerintahkan hal tersebut adalah khawatir nanti orang-orang Islam lain
banyak yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Hudzaifah. Sehingga banyak orang
yang menikahi wanita ahli kitab karena kecantikannya, sehingga mereka menjadi
fitnah bagi wanita muslimah, karena banyaknya laki-laki muslim yang lebih
memilih wanita ahli kitab dibandingkan wanita muslimah.[15]
Maka, jika pernikahan itu terjadi di Indonesia, akan
mengalami kendala dalam catatan sipilnya. Meski manfaat dan madharat itu bisa
berbeda antar satu kasus pernikahan dengan lainnya. Secara umum, penikahan beda
agama tidaklah disarankan dan perlu dihindari. Wallahua'lam.
[1] Abu
Bakar al-Baihaqi (w. 458 H), Ahkam al-Qur’an li as-Syafii, (Kairo: Maktabah
al-Khanji, 1414 H), juz 1, 189
[2] Lihat:
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/369; Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, 9/145). Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah,
4/73; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/143;
[3] Muhammad
bin Ahmad Syamsul Aimmah as-Syarakhsi al-Hanafi (w. 483 H), al-Mabsuth,
(Baerut: Dar al-Ma’rifa, 1414 H), juz 4, hal. 210
[4] Qarafi
Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad al-Malikiy (w. 684 H), adz-Dzakhirah, (Baerut:
Dar al-Gharb, 1994), juz 4, hal. 322
[5] Yahya
bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), Minhaj at-Thalibin, (Baerut: Dar al-Fikr, 1425
H), hal. 212
[6] Ibnu
Qudamah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad al-Hanbali (w. 620 H), al-Mughni, (Kairo:
Maktabah al-Qahirah, 1388 H), juz 7, hal. 129
[7] Imam
Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an, (Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, t.t), juz 1,
hal. 187,
[8] Wahbah
Al Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 147
[9] Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, juz 1, hal. 208
[10] Wahbah
Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 147
[11] Ibnu
Qudamah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad al-Hanbali (w. 620 H), al-Mughni,
(Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H)
[12] Baihaqi
Ahmad bin Husain (w. 458 H), as-Sunan al-Kubra, (Baerut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1424 H), juz 7, hal. 280
[13] Soedharyo
Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), dan Himpunan
Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996)
[14] Syamsuddin
al-Khatib as-Syirbini (w. 977 H), Mughni al-Muhtaj, (Baerut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1415 H)
[15] Wahbah
bin Mushtafa az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr,
t.t), juz 9, hal. 6656
0 Komentar
Terima kasih Atas Tanggapan Penuh Makna Dari Anda.
Bantulah kami untuk mengembangkan layanan kami agar lebih menuju sempurna saran dan ide kreatif dari anda para pengejar ilmu. Dan marilah kita bagikan layanan ilmu kepada siapa saja yang membutuhkan bijih ilmu . Satu kebaikan dari anda, bagaikan matahari penerang bagi mereka yang kesulitan mendapatkannya.