Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan manusia. Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antara manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seseorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya.[1]
Dalam Islam, setiap perkawinan diikat dengan pemberian harta
dari laki-laki kepada pihak perempuan. Pemberian itu sering disebut dengan
istilah mahar atau maskawin.
Mahar
dalam Sejarah
Sejarah mencatat perempuan di sebagian masyarakat dulunya
hanya berperan sebatas lingkungan
domestik saja. Akan tetapi, sekarang eksistensi perempuan telah diakui
profesionalismenya dan bahkan diakui di ranah publik. Pada masa jahiliyah
dahulu, kaum perempuan dipersamakan dengan barang atau harta yang dapat
diwarisi dan diwariskan.[2]
Mahar
dalam Al-Qur’an
Sebutan pemberian
sesuatu yang berhubungan dengan akad nikah dari calon suami kepada calon istri
disebut dalam berbagai kosakata oleh Al-Qur’an. Ada enam istilah yang digunakan
Al-Quran. Istilah-istilah tersebut adalah shadaq, nihlah, ujur, tawl, faridhah,
qintar.
1. Shadaq
Kata yang paling masyhur mewakili kata mahar dalam Al-Qur'an
adalah shadaq atau shaduqat.
{وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا}
[النساء: 4]
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Al-Qur'an tidak pernah membahasakan maskawin dengan kata
mahar, melainkan menggunakan kata shaduqat, bentuk jamak dari kata
shaduqah, shadaq atau shidaq[3].
Sedangkan istilah mahar ada dalam al-Hadis dan tradisi Arab setempat. Shadaq,
serumpun dengan kata shidq (kebenaran, ketulusan, kejujuran) dan
shadaqah (derma, pemberian). Artinya, bahwa maskawin yang diberikan kepada
istri adalah bukti kejujuran, kesucian dan
ketulusan cintanya terhadap
gadis yang dinikahinya.
Al-Qur'an mengaitkan langsung antara kata shaduqat dengan
kata al-nisa’ (istri) sebagai obyek yang mesti menerima maskawin, tidak kepada
bapak atau walinya[4].
Dari sini tampak bahwa maskawin yang dibahasakan dengan shaduqat oleh al-Qur’an
punya makna sangat agung dan universal, sekaligus merevisi anggapan jahiliah
Arab yang sampai hari itu berefek materialistik dan semena-mena
memberlakukan kaum wanita dalam rumah
tangga.
2.
Nihlah
Kata lain yang bermakna mahar adalah nihlah. Meski nihlah
disebutkan bersama dengan shadaq.
{وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا}
[النساء: 4]
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang khitab ayat diatas
ditujukan kepada siapa? Apakah kepada wali dari wanita atau kepada suami?
Imam Fakhr ar-Razi menyebutkan memang ada 2 pendapat.
Al-Farra’ dan Ibnu Quthaibah berpendapat bahwa khitab dari ayat diatas
ditujukan kepada wali dari wanita. Maksudnya bagi wali hendaknya memberikan
mahar yang telah diterima dari mempelai laki-laki untuk diberikan kepada anak
perempuannya. Karena mahar memang menjadi hak wanita. Sedangkan menurut
Alqamah, an-Nakhai dan Qatadah, khitab ayat ini ditujukan kepada mempelai
laki-laki, agar mahar diberikan kepada istrinya[5].
Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa arti
kata nihlah adalah mahar[6].
Meskipun riwayat lain dari Aisyah menyebutkan bahwa arti kata nihlah adalah
wajib[7].
Artinya seorang laki-laki wajib memberi mahar kepada istri.
3.
Ujur
Ujur adalah bentuk prular dari kata ujrah yang bermakna upah.
Bahkan kata ujur untuk istri disebutkan sebanyak 5 kali; an-Nisa: 24, an-Nisa:
25, al-Maidah: 5, al-Ahzab: 50, al-Mumtahanah: 10. Contohnya adalah ayat
berikut:
{فَانْكِحُوهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ
مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ} [النساء: 25]
... karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,
dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita
yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya.
Ujrah bermakna ongkos dan serumpun dengan kata ajr yang
bermakna pahala. Hal ini memberi
makna bahwa mahar harus
bersifat mal atau
mutamawwal, yaitu berupa harta
atau mengandung nilai harta.
4.
Tawl
Kadang memakai kata thaul.
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا
أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ} [النساء: 25]
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
Ahli tafsir memaknai thaul dengan fadhl atau anugerah[8].
Karena thaul berangkat dari kata thul yang berarti panjang, maksudnya panjang
rejekinya.
5.
Faridhah
Kadang memakai kata faridhah.
{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً} [البقرة:
236]
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya.
{وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ
وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ
يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} [البقرة: 237]
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
Terkadang Al-Qur’an membahasakan maskawin dengan faridhah,
yang biasanya bermakna kewajiban. Meskipun ahli tafsir memaknai fardh
al-faridhah dengan tasmiyat al-mahr atau menyebut nilai mahar[9].
6.
Qinthar
Kadang memakai kata qinthar.
{وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ
مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ
شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا} [النساء: 20]
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Qintar bermakna segudang
emas. Makna segudang emas dari
qintar menunjuk jumlah besaran
yang tak terukur. Sifat tidak terukurnya
dipantau lewat keadaan hani’an mari’an (lega dan memuaskan) saat dinikmati baik
oleh yang bersangkutan maupun oleh orang lain.
Dari ayat-ayat yang terpapar dan beberapa petunjuk Hadis,
dapat diambil kesimpulan bahwa dari sisi nilai maliyahnya, secara garis besar mahar itu dibagi dua. Pertama, berupa
mahar ‘ainy. Mahar
yang berupa barang nyata, emas,
uang, rumah atau benda berharga lain secara totalitas. ‘Ainiy artinya, materi,
benda, atau esensi. Jadi yang
dijadikan mahar adalah
totalitas materi benda tersebut. Mahar inilah yang biasa berlaku sejak
dulu sampai sekarang.
Kedua, mahar berupa jasa atau manfaat sebuah benda yang
disebut mahar naf’iy. Jasa adalah kerja seseorang yang berimbalan upah
tertentu. Upah itulah yang dikompensasi menjadi mahar. Mahar
naf’iy ini merujuk pada mahar Nabi Musa A.S. ketika menikahi
gadis Saufara’, anak perempuan nabi Syu’aib A.S. Musa bekerja
kepada Nabi Syu’aib dengan menjadi buruh mengembala kambing selama
delapan tahun (al-Qashash: 27). Inilah yang kemudian oleh Abu Hanifah disebut
dengan mahar ujrah seperti juga Hadis pemberian mahar berupa mengajar
al-Qur'an. Logikanya, ongkos mengajar itulah maharnya.[10]
Wallahua'lam.
[1]
Koentjaraningrat, Kebudayaan : Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta : Gramedia, 1994), hal.
92.
[2]
Husen Muhammad Yusuf, Ahdaf al-Usrah fi al-Islam, (Cairo: Dar I’tisham, 1997),
hal. 23.
[3]
Al-Mahalli Jalaluddin Muhammad dan as-Suyuthi Jalaluddin Abdurrahman, Tafsir
al-Jalalin, (Kairo: Dar al-Hadits, t.t), hal. 98
[4]
Zamakhsyari Abu al-Qasim Mahmud (w. 538 H), Tafsir al-Kasyaf, (Baerut: Dar
al-Kitab al-Arabi, 1407 H), juz 1, hal. 470
[5]
Fakhuruddin ar-Razi Abu Abdillah Muhammad bin Umar (w. 606 H), Tafsir Mafatih
al-Ghaib, (Baerut: Dar Ihya at-Turats, 1420 H), juz 9, hal. 491
[6]
Ibnu Katsir Abu al-Fida Ismail bin Umar (w. 774 H), Tafsir Ibnu Katsir,
(Baerut: Dar Thaibah, 1420 H), juz 2, hal. 213
[7]
Ibnu Katsir Abu al-Fida Ismail bin Umar (w. 774 H), Tafsir Ibnu Katsir, juz 2,
hal. 213
[8]
Fakhuruddin ar-Razi Abu Abdillah Muhammad bin Umar (w. 606 H), Tafsir Mafatih
al-Ghaib, juz 10, hal. 46
[9]
Zamakhsyari Abu al-Qasim Mahmud (w. 538 H), Tafsir al-Kasyaf, (Baerut: Dar
al-Kitab al-Arabi, 1407 H), juz 1, hal. 284
[10]
Abdul Wahhab al-Sha’rani, al-Mizan
al-Kubra, ( Singapura: Al-Haramain, t.th.),
juz II, hal. 116; Ibnu Katsir Abu al-Fida Ismail bin Umar (w. 774 H),
Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 500.